KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Kasih KaruniaNya yang
menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang
sederhana ini,
baik dari isi maupun bentuknya. Adapaun judul skripsi ini adalah (Tanggung jawab
Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Meningkatkan Kualitas Afekytif Siswa Di
Kelas IX SMP Negeri 1 Pematangbandar). Penulisan skripsi ini adalah persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas HKBP Nommensen Medan Program Studi Ilmu Pendidikan /
Pendidikan Agama Kristen pada jenjang Starata Satu ( S1 ). Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan bukanlah mustahil
didalamnya terdapat banyak kekurangan-kekurangan dan kelemahan, baik dari segi
tekniknis maupun penyusunannya, terutama dari segi ilmiahnya. Tapi berkat
bimbingannya dan arahan Bapak Dosen Pembimbing Utama dan Pembimbing Pembantu
serta dorongan dari pihak-pihak lain, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan
ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih atas segala
bantuan dan perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak antara lain :
1. Bapak
Dr. Haposan Siallagan, SH.MH selaku Rektor Universitas HKBP Nommensen telah
memberikan izin dan kemudahan selama penulis mengikuti perkulihan dalam program
studi Ilmu Pendidikan/Pendidikan Agama Kristen. Bapak Dr. Hilman Pardede,
selaku Dekan FKIP Universitas HKBP Nommensen Medan yang telah memberikan izin
dan kemudahan selama penulis mengikuti perkulihan dalam program studi Ilmu
Pendidikan/Pendidikan Agama Kristen
2. Bapak
Gr. Bangun Munthe,
S.Pd,MM, selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah memberikan waktu dan kesempatan membimbing, mengoreksi, mengarahkan dan
memberi perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan Ibu Pdt. Dr.Nurliani Siregar, M.Pd,
selaku Pembimbing kedua yang selalu memberikan banyak perhatian, motivasi,
pertunjuk-petunjuk, bimbingan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Seluruh
Dosen Jurusan PAK antara lain : Ibu Dr. Nurliani Siregar, selaku ketua Jurusan
PAK, Bapak Gr. Bangun Munte,S.Pd,MM, Bapak Pdt. Drs. Nelson Sihotang, M.Div,
Bapak Pdt. Sunggul Pasaribu, S.Th,M.PAK, Bapak Pdt. Manuara Hutapea, S.Th,
Bapak Pdt. Robert Silitonga,S.Pd,M.Th, Bapak Pdt. Darman Samosir, M.Th/Nurs,
Bapak Pdt. Peniel Sirait, M.Psi/BM, Ibu Pdt.Jojor Silalahi,M.Th/Nurs, Ibu Pdt.
Paulina Sirait, M.Si Teol/BM.
4. Seluruh
staf dan pegawai di FKIP Universitas HKBP Nommensen Medan.
5. Pimpinan
SMP Negeri 1 Pematangbandar dan guru PAK serta siswa/I yang telah membantu
penulis dalam pengisian angket.
6. Teristimewa
kepada IBU tercinta R. Situngkir yang telah bersusah payah mengasuh, mendidik
terutama memberikan dukungan moral maupun material yang tidak terhitung
nilainya kepada penulis dalam mencapai gelar Sarjana, dan kepada Keluarga yang
selalu memberi perhatian dan semangat kepada penulis selama mengikuti
Pendidikan di FKIP Universitas HKBP Nommensen Medan.
7. Kepada
Sahabat-sahabat penulis Nurmian Pasaribu, Monika Lastria Siallagan, Ciska
Marito Siburian, Fridayanti Panjaitan, Hotmauli Nababan, Debora Novri Samosir,
Nova Yanti Sinaga, Desprianto Purba, Rodearni Purba, Nelly Harianja, yang telah
memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
8. Kepada
teman-teman PPL di SMP Harapan Pematangsiantar, Nurdillah, Maya Suprizah, Riris
Riyanti, Hiras Situmeang, Herlina Sianipar, Cristine Pardosi, yang telah
memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
9. Kepada
kakak stambuk Elsina Sinurat, S.Pd yang telah memberikan doa, semangat, dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada
teman dekat saya Heri Putra Hutahaean, yang telah memberikan doa, semangat, dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada
teman-teman Kost Rimba Raya 18 Nely Harianja, Gokma Purba, Santi Purba,
Destarida Rumahorbo, Roslina Gultom, yang telah memberikan doa, semangat dan
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Teman-teman
seperjuangan saya Mahasiswa/I khususnya Jurusan PAK Stambuk 2015, yang selalu
memberikan perhatian, semangat, dukungan, dan doa kepada penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata
penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu dalam kerelaan memberikan bantuan dan dorongan dalam
penyelesaian skripsi ini.
Doa dan harapan
penulis, semoga tulisan ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi peningkatan
pendidikan umumnya, dan Pendidikan Agama Kristen secara khusus.
Medan,
September 2019
Hormat
saya
Novitasari
Sidabutar
NPM
: 15160051
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Secara umum pendidikan berarti suatu
proses transformasi yang dilakukan seseorang atau masyarakat kegenerasi berikutnya, serta
dilaksanakan secara teratur, tersturktur dan dapat di ukur atau diketahui
hasilnya. Generasi berikut mendapat pendidikan secara formal dan informal,
sehingga mereka bertumbuh secara intelektual, pengalaman keagamaan, serta
memiliki sikap hidup yang baik. Pendidikan merupakan usaha untuk memperlengkapi
dan membimbing individu maupun kelompok, agar menjalankan tugas dan panggilan
hidup secara efektif. Pendidikan bertugas membangun kualitas manusia seutuhnya,
serta segi-segi kehidupan fisik, intelek, moral, spritual, dan sosio kultural
dan kelompok.
Dunia pendidikan sedang diguncangi
oleh berbagai perubahan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta
ditantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global
yang begitu pesat. Perubahan dan permasalahan tersebut seperti pasar bebas,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Maka dengan
perkembangan tersebut harus dibarengi dengan perkembangan didunia pendidikan
mulai dari mutu pendidikan baik mutu guru, siswa, kurikulum dan sarana dan pra
sarana yang berkualitas, sehingga akan menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas pula. Pendidikan sangatlah penting dalam kehidupan manusia dan
tidak terbatas pada umur. Suatu Negara yang mutu pendidikannya rendah akan
mengakibatkan terhambatnya suatu kemajuan Negara. Undang-undang No 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional menguraikan: pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki
kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, Bangsa dan
Negara.
Fungsi dan tujuan pendidikan
Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 (Sisdiknas, Pasal
3 ) yang berbunyi, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk bangsa, bertujuan untuk perkembangan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis”.
Menurut Sumadi Suryabrata (1984:
148) , tingkah laku afektif yaitu tingkah laku yang didasari oleh perasaan.
Banyak orang yang tingkah lakunya tersebut didasari oleh bagaimana perasaannya.
Menurut Djemari Mardapi (2004) ranah
afektif menentukan keberhasilan seseorang. Orang tidak memiliki kemampuan
afektif yang baik, sulit mencapai keberhasilan studi yang optimal. Hasil
belajar kognitif dan psikomotorik akan optimal jika peserta didik mempunyai
kemampuan afektif tinggi. Oleh karena itu pendidikan harus diselenggarakan
dengan memberikan perhatian yang lebih menyangkut ranah afektif ini. Pencapain
kemampuan kognitif dan psikomotirk dalam bidang pendidikan agama Kristen tidak
akan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila tidak diikuti dengan kemampuan
afektif. Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan bisa baik jika digunakan
untuk membantu orang lain, namun bisa tidak baik bila kemampuan ini digunakan
untuk membantu orang lain. Selain itu pengembangan afektif di sekolah akan
membawa pengaruh yang sanagat baik positif dalam kehidupan siswa selanjutnya,
baik di rumah maupun di lingkunga luar.
Pada zaman modern seperti ini,
masalah afektif merupakan masalah yang terjadi pada sebagian besar remaja di
Indonesia. Masalah afektif sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini
belum dapat diatasi secara tuntas. Penyimpangan yang dilakukan remaja yang
terjadi sekarang tidak hanya menjadi tanggung jawab guru pendidikan agama,
tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh pengajar di sekolah. Ada beberapa
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seorang siswa antara lain dapat dari
keluarga sendiri, lingkugan sekitarnya/ pergaulannya, media social (TV,
handphone, majalah-majalah), dan melalui internet.
Pendidikan
Agama Kristen adalah pendidikan yang memiliki karakter dan nilai-nilai
kristiani. Pendidikan Agama Kristen menumbuhkan sikap dan perilaku manusia
berdasarkan iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari serta pengetahuan tentang
pendidikan Kristen dengan tujuan untuk meningkatkan keyakinan pemahaman,
penghayatan agar manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak
baik. Pendidikan agama Kristen adalah “pemupukan akal orang-orang percaya dan
anak-anak mereka dengan firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui
sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga dalam diri
mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang bersinambungan yang semakin dalam
melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa
tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya”. Dalam ulangan 6:7 “haruslah engkau
mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anak dan membicarakannya apabila
engkau sedang duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila
engkau berbaring, dan apabila engkau bangun”. Tuhan Allah sendiri yang memberikan
tugas untuk mendidik anak-anak kepada orang tua. Itulah sebabnya keluarga
kristenlah yang memegang peranan yang terpenting dalam PAK. Sebagai guru PAK
bertanggung jawab terhadap perkembangan nilai afektif siswa, artinya guru PAK bertanggungjawab memberitakan
firman Allah sebagai bantuan terhadap perkembangan nilai afektif siswa.
Dalam
hal ini afektif adalah merupakan masalah yang penting pada saat sekarang ini
mendidik afektif berarti mendidik seseorang untuk memperoleh atau mengangkat
kepercayaan mereka dengan landasan yang logis dan tidak sekedar mengajar mereka
untuk mengulangi kebenaran-kebenaran secara tepat. Dengan kata lain nilai
afektif tidak terbatas dalam kawasan interpersonal dimana permasalahan sikap
yang dianggap untuk pandangan Alkitab tentang moral yaitu dalam Amsal 11:30
”hasil orang benar adalah pohon kehidupan dan siapa bijak mengambil hati orang.
Setiap pekerjaan atau usaha selalu ada hasilnya”. Dalam Amsal bahwa hasil
pekerjaan orang-orang yang benar adalah pohon kehidupan, pohon kehidupan
tersebut merupakan prestasi bagi setiap orang yang dengan sungguh-sungguh
melaksanakan Firman Tuhan. Akan tetapi perhatian terhadap nilai afektif harus
tercakup dalam semua pendidikan. Sementara pertumbuhan dan perkembangan
dilihatnya sebagai terwujudnya kapasitas dalam diri seseorang untuk hidup
berparsitipasi dalam kehidupan masyarakat secara demokrasi sehingga apa yang
diterima seseorang harus seimbang dengan apa yang telah di korbankan perasaan
afektif ini sangat mempengaruhi seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik
atau jahat maka perlu mendapat perhatian
dan pendidikan nilai segi perasaan sikap, termasuk dalam tindakan minat
adalah kompetensi (mempunyai kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan
perasaan ketindakan konkrit.
Dari
pengamatan penulis di salah satu sekolah SMP di kota Pematangsiantar, terdapat
beberapa siswa yang kurang memiliki sikap atau afektif yang baik. Peneliti
melihat adanya sikap dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kurang
disiplin dalam mengikuti pembelajaran cara mereka dalam bergaul terhadap sesama
dalam segi tutur kata dan tindakan. Selain itu, penyimpangan afektif yang
terlihat juga terjadi kepada orang yang lebih tua. Sikap seperti itu bahkan
terlihat biasa bagi mereka. Sikap yang
tidak baik itu juga dapat terlihat dari perkataan dan perbuatan siswa seperti
mengucapkan kata-kata kotor kepada teman, melawan guru, tidak tahu berdoa, dan
menyebut-nyebut nama orang tua temannya. Untuk itulah diperlukan adanya campur
tangan dari seorang guru Pendidikan Agama Kristen untuk meningkatkan nilai
afektif siswa siswa.
Berdasarkan
uraian di atas, saya sebagai penulis sangat terdorong untuk membahas masalah Tanggung Jawab Guru Pendidikan
Agama Kristen
dalam Meningkatkan Kualitas afektif Siswa di Kelas IX SMP
Negeri 1 Pematang Bandar.
B.
Ruang
Lingkup Masalah
Ruang lingkup adalah luasnya subjek yang
tercakup dalam penelitian ini, perlu diadakan ruang lingkup masalah yang akan
dibahas agar tepat kearah penelitian. Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah masalah yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
Artinya bersifat ilmiah, perlu diadakan ruang lingkup agar jangan terjadi
penyimpangan-penyimpangan terhadap onjek yang diteliti.
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan, maka rumusan masalah yang menjadi bahan tulisan dan titik tolak di
dalam penelitian, yakni : “Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Kristen dalam
meningkatkan kualitas afektif Siswa” (Studi Kasus: Kelas IX SMP Negeri 1
Pematang Bandar).
1.
Tanggung
jawab Guru PAK (Variabel X)
Homrighausen dan Enklaar, (1993: 180 –
181) mengemukakan bahwa tugas guru dalam pendidikan agama sangat penting, dan
tanggung jawabnya berat. Guru itu dipanggil untuk membagikan harta abadi. Dalam
tangannya ia memegang kebenaran ilahi. Dan dalam pekerjaannya ia menghadapi
jiwa manusia yang besar nilainya di hadapan Allah. Sehinggan jangan sekalipun
kita menganggap pekerjaan guru agama itu rendah atau gampang; pada hakekatnya
pekerjaan itu tak kurang pentingnya dari pada tugas pendeta. Berikut Tanggung jawab
guru PAK menurut Homrighausen dan Enklaar,
(1993: 164 – 165)
a.
Menjadi
seorang gembala bagi murid-muridnya
Gembala adalah ekspresi dari penjagaan
atau pemeliharaan Allah yang penuh dengan kasih. Istilah gembala sendiri
disematkan kepada mereka yang memegang jabatan penggembalaan di gereja tempat
mereka bertugas memelihara kehidupan rohani dalam jemaat (Individu, keluarga,
dan komunitas). Ia bertanggung jawab atas hidup rohani mereka; ia wajib membina
dan memajukan hidup rohani itu. Tuhan Yesus sudah menyuruh dia:
"Peliharakanlah segala anak dombaKu, gembalakanlah segala dombaKu!"
Sebab itu seharusnyalah seorang guru mengenal tiap-tiap muridnya; bukan hanya
namanya saja, melainkan latar belakangnya dan pribadinya juga. Ia harus
mencintai mereka dan mendoakan mereka masing-masing di depan takhta Tuhan.
b.
Menjadi
seorang pedoman dan Pemimpin
Pemimpin adalah pembentukan awal
sertapemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi. Ia tak boleh menuntun
muridnya masuk ke dalam kepercayaan Kristen dengan paksaan, melainkan ia harus
membimbing mereka dengan halus dan lemah lembut kepada Juruselamat dunia. Sebab
itu ia hendaknya menjadi teladan yang menarik orang kepada Kristus; hendaknya
ia mencerminkan Roh Kristus dalam seluruh pribadinya.
c.
Menjadi
seorang penginjil
Penginjil adalah memberitakan Injil yaitu
kabar kesukaan. Dia yang bertanggung jawab atas penyerahan diri setiap orang
pelajarnya kepada Yesus Kristus. Belum cukup jikalau ia menyampaikan kepada
mereka segala pengetahuan tentang Kristus. Tujuan pengajaran itu ialah supaya
mereka sungguh-sungguh menjadi murid-murid Tuhan Yesus, yang rajin dan setia.
Guru tak boleh merasa puas sebelum anak didikannya menjadi orang Kristen yang
sejati.
2.
Kualitas
Afektif Siswa (Variabel Y )
Ranah
afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif
mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.
Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya
bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Berikut aspek-aspek afektif menurut
Menurut Mardapi (2004) dalam buku Harun Rasyid (2007: 16):
1.
Minat
Minat atau keinginan adalah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intentitasnya. Secara umum minat termasuk kualitas afektif yang memiliki
intentitas tinggi.
2.
Sikap
Sikap
merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka
terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk memalui cara mengamati dan menirukan
sesuatu yang positif, kemudia melalui penguatan serta menerima informasi
verbal.
3.
Nilai
Nilai merupakan suatu keyakinan tentang
perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang diangap buruk.
C.
Rumusan
Masalah
Masalah adalah ketika ada gap antara Das
Sein dan Das Sollen. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan
(dipecahkan); soal; persoalan (KBBI Depertemen Pendidikan dan kebudayaan Balai
Pustaka 1988 : 562). Setiap penelitian yang akan dilakukan harus selalu berangkat
dari masalah, walaupun diakui bahwa memilih masalah penelitian sering merupakan
hal yang paling sulit dalam proses penelitian (Tuckman, 198 dalam Sugiono 2009
: 52 ). Maka rumusan masalah adalah suatu pertanyaan yang akan dicarikan
jawabannya melalui pengumpulan data.
Berdasarkan ruang lingkup masalah
tersebut diatas, maka rumusan masalah adalah :
1. Masalah Umum
Sejauhmanakah Tanggung jawab guru Pendidikan
Agama Kristen dalam meningkatkan kualitas afektif siswa di Kelas IX SMP Negeri 1 Pematang Bandar?
2. Masalah Khusus
a)
Sejauhmana Tanggungjawab
guru PAK menjadi seorang gembala dalam meningkatkan kualitas afektif siswa ?
b)
Sejauhmana Tanggung jawab
guru PAK menjadi seorang pedoman/pemimpin dalam meningkatkan kualitas afektif siswa
?
b.
Sejauhmana Tanggung jawab
guru PAK menjadi seorang penginjil dalam meningkatkan kualitas afektif siswa ?
d. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, yang
menjadi Tujuan Penelitian ini adalah :
1.
Tujuan umum
Untuk mengetahui
Sejauhmana Tanggung jawab guru PAK dalam meningkatkan kualitas afektif siswa di
Kelas IX SMP Negeri 1 Pematangbandar.
2.
Tujuan khusus
a)
Untuk mengetahui
sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang gembala meningkatkan
kualitas afektif siswa.
b)
Untuk mengetahui
sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang pedoman/ pemimpin
meningkatkan kualitas afektif siswa.
c)
Untuk mengetahui
sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang penginjil meningkatkan kualitas afektif siswa.
E. Manfaat
Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka
yang menjadi manfaat penelitiam ini adalah :
a)
Untuk menambah wawasan
peneliti tentang tanggung jawab guru PAK dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
b)
Sebagai bahan masukan
kepada guru PAK khususnya guru PAK di SMP NEGERI 1 Pematang Bandar tentang Tanggung
jawab Guru PAK dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
c)
Sebagai bahan bacaan di
Perpustakaan Universitas HKBP Nomensen Pematangsiantar
d) Untuk
memberi pengetahuan kepada pembaca tentang Tanggung jawab guru PAK dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
BAB
II
LANDASAN
TEORITIS
A.
Kerangka
Teoritis
Landasan teori berisi tentang uraian
teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti yang dapat dijadikan
sebagai alat untuk menganalisis data temuannya. Landasan teori ini menjadi
penting untuk dirumuskan secara rinci dan spesifik. Disamping merumuskan
landasan teori, penyusunan konsep yang berhubungan dengan masalah-masalah
penelitian akan memberi pengertian bahwa apa yang diteliti menjadi jelas.
Dalam suatu penelitian kerangka teoritis
sangatlah penting untuk diuraikan, karena dari kerangka teoritis ini akan
diperoleh penjelasan-penjelasan dari beberapa teori yang dikemukakan dari
beberapa tokoh sehubungan dengan masalah yang akan diteliti. Teori merupakan
sistem gagasan dan abstraksi yang memadatkan dan mengorganisasikan berbagai
pengetahuan manusia tentang apa sesungguhnya dunia social (Researchers use
theory differently in various types of research, but some type of theory is
present in most social research, Neuman, 2003 dalam Sugiono 2009 : 79).
Teori ini menyediakan konsep-konsep yang
relevan, asumsi-asumsi dasar yang dapat digunakan dan mengarahkan pertanyaan
penelitian yang diajukan, serta membimbing kita memberikan mekna. Secara
deduktif (logika berfikir) peranan
kerangka teori adalah sebagai dasar untuk mengajukan pertanyaan sementara
(hipotesis) atau pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya.
Landasan teori ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang
kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (Trial and Error). Dalam kerangka
teoritis ini akan dibahas beberapa aspek yang ada hubungannya dengan masalah
penelitian. Adanya landasan teoritis ini merupakan ciri bahwa penelitian itu
merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data. Adapun aspek yang aan dibahas
adalah :
1. Defenisi Variabel X (Tanggung jawab Guru PAK)
a. Defenisi Tanggung jawab
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2001:172), tanggung jawab adalah “keadaan wajib menanggung sesuatu yang
apabila terjadi apa-apa boleh dituntut”. Sedangkan tanggung jawab menurut
Sjarkawi (2006:72) yaitu sesuatu kesadaran manusia akan tingkah lakunya atau
perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab adalah suatu kesadaran manusia akan
sesuatu hal yang akan dilakukan akan suatu kewajiban.
b. Defenisi Guru PAK
Menurut Homrighausen, Enklaar (2012
:164) Guru Pendidikan Agama Kristen adalah seorang yang membantu peserta didik
berkembang untuk memasuki persekutuan iman denganTuhan Yesus sehingga menjadi
pribadi yang bertanggung jawab baik kepada Allah maupun kepada manusia.
Guru Pendidikan Agama Kristen mempunyai
tugas dan tanggungjawab untuk meningkatkan intelektual siswa-siswi, dan
membekali pengetahuan tentang sikap yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman
Kristen. Hal ini sejalan dengan pendapat Robert W. Pazmino (dalam Samuel
Sijabat, 1999 : 28) yang mengatakan : Pendidikan Kristen adalah usaha
bersengaja dan sistematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk
mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap, keterampilan, dan tingkah laku
yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman Kristen, dalam rangka mengupayakan
perubahan, pembaharuan, dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur
oleh kuasa Roh Kudus, sehingga siswa-siswi hidup sesuai dengan kehendak Allah
sebagaimana dinyatakan oleh Allah, terutama dalam Yesus Kristus.
Menurut Boehlke (2016:413) bahwa
pendidikan agama Kristen (PAK) adalah pemupukan akan orang-orang percaya dan
anak-anak mereka dengan firman Allah dibawah bimbingan Roh Kudus melalui
sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja. Sehingga dalam diri
mereka dapat menghasilkan pertumbuhan rohani yang berkesinambungan melalui
pengabdian diri kepada Allah Bapa Yesus Kristus berupa tindakan kasih terhadap
sesamanya.
Dalam hal ini ditegaskan bahwa Guru
Pendidikan Agama Kristen (PAK) adalah seorang professional dalam bidang agama
Kristen dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai dan mengevaluasi untuk diajarkan kepada peserta didik dan
sumber pengajarannya adalah Alkitab.
2. Landasan Variabel X (Tanggung jawab Guru
PAK)
Marthin Luther (dalam
Robert. Boehlke, 2016:342-344) mengatakan bahwa pengajar pokok dalam pendidikan
Agama Kristen adalah Allah sendiri bukan manusia. Baginya, gaya mengajar yang
diprakarsai Allah merupakan contoh bagi semua perkara paedagogis insani. Luther
pernah berkata, seorang ayahnyang baik mendidik anak-anaknya sebagaimana dia
me;ihat Allah mendidik dirinya sendiri.
Harrison S. Elliot (dalam
Robert R. Boehlke, 2015:658-659) mengatakan pendidikan Agama Kristen berfungsi
untuk menolong anak-anak, kaum muda dan dewasa memikirkan masalah-masalah yang
berkaitan dengan keadaan-keadaan yang mereka sedansg hadapi, agar menemukan
tindakan atau jawaban kristiani yang cocok bagi pemecahan masalah tersebut dan
merencanakan sarana yang dapat dipakai untuk melaksanakan keputusan yang baru
diambil dalam kehidupan pribadi dan dalam kelompok. Di samping itu, tujuan
pendidikan agama mencakup pengalaman memeriksa dan mempertimbangkan
tindakan-tindakan yang sedang terjadi dari tolak ukur agama Kristen.
Sesuai dengan pernyataan di
atas, sebagai pendidik ditengah-tengah lingkungan sekolah, E.G Homrighausen
(2012:164) dalam bukunya:
1) Menjadi
seorang gembala bagi murid-murinya.
Kata
gembala di dalam bahasa Ibrani adalah “ro’eh” dan di dalam bahasa Yunani adalah
“poimen”. Arti dari kata gembala adalah seseorang yang menjalankan otoritas
untuk peduli (caring) kepada orang lain secara politikal dan spiritual. Di dalam
Alkitab kita sering membaca tentang seorang gembala. Misalnya dalam 1Samuel 16
: 11, diceritakan bahwa Daud, sebelum menjadi raja, ia bekerja sebagai gembala.
Dalam Mazmur 23 Allah disebut sebagai gembala yang memelihara domba-domba-Nya,
sehingga mereka tidak kekurangan suatu apapun. Begitu juga Yesus menyamakan
diri-Nya dengan seorang gembala yang baik dalam Yohanes 10 :11.
Tugas utama seorang gembala adalah menjaga dan melindungi
kawanan dombanya. Gembala pada hakekanya merujuk pada tugas seorang penjaga
ternak. Menjadi seorang gembala di timur tengah bukanlah suatu pekerjaan yang
mudah. Setiap hari dari pagi hingga malam gembala akan bersama-sama dengan
kawanan dombanya untuk mencari air dan rumput yang hijau (hal ini mungkin tidak
dirasakan oleh gembala yang ada di Indonesia mengingat air dan rumput hijau
sangat mudah ditemui). Tidak hanya itu, 1 samuel 17:34-36 melukiskan bagaimana
Daud berjuang untuk melawan singa atau beruang yang mau merampas dan membunuh
domba-dombanya sampai selamat.
Yesus juga menceritakan tentang suatu kemungkinan yang
tidak jarang, bahwa seriga-serigala harus diusir (Yohanes 10:12,13).
Seorang gembala ialah seorang yang bekerja sampai lelah, ia harus waspada dan
berani, bahkan bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk dombanya (Yohanes
10:11)
Hal tersebutlah yang dianalogikan
kedalam kehidupan manusia. Dimana manusia adalah kawanan domba yang tak mampu
hidup tanpa seorang gembala.
M. Bons-Strom (2014: 23)
menyatakan bahwa gembala yang sebenarnya ialah Yesus Kristus. Berulang-ulang
Yesus mengatakan, umpamanya dalam Yohanes 10:1-21, bahwa “Dialah Gembala yang
baik”. Yesus sudah meninggalkan dunia in, tetapi sebelum ia naik ke sorga, Ia
mempercayakan pemeliharaan domba-domba-Nya kepada pengikut-pengikut-Nya
(Yohanes 21:15-19).
Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa semua orang adalah
gembala bagi saudaranya. Hal itu berarti, bahwa setiap orang yang menyatakan
dirinya sebagai “pengikut Kristus”, dengan sendirinya ia telah menjadi seorang
gembala.
Herfst (dalam M. Bons-Strom, 2014:1) mengatakan bahwa tugas
penggembalaan itu ialah: “Menolong setiap orang untuk menyadari hunbungannya
dengan Allah, dan mengajar orang untuk mengakui ketaatanya kepada Allah dan
sesame-Nya, dalam situasinya sendiri.
Empat
tujuan penggembalaan menurut William A.Clebsch dan Charles R. Jaekle (dalam
Howard Clinebell,2006:53-54) dalam ringkasan sumber yang mereka buat dari
sejarah gereja, yaitu:
1.
Menyembuhkan
(Healing).
Suatu fungsi pastoral yang terarah untuk mengatasi kerusakan yang dialami orang
dengan memperbaiki orang menuju keutuhan dan membimbing nya kearah kemajuan di
luar kondisinya terdahulu.
2.
Mendukung
(Sustaining). Menolong orang yang sakit (terluka)agar dapat
bertahan dan mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada waktu yang lampau,
dimana perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya tidak mungkin lagi
diusahakan atau kemungkinannya sangat tipis sehingga sangat tidak mungkin
diharapkan.
3.
Membimbing
(Guiding). Membantu orang yang berada di dalam kebingungan
dalam mengambil pilihan yang pasti (meyakinkan diantara berbagai pikiran dan
tindakana alternatif/pilihan), pilihan yang dipandang mempengaruhi keadaan jiwa
mereka sekarang dan pada waktu yang akan datang.
4.
Memulihkan
(Reconcling). Usaha membangun hubungan-hubungan yang rusak
kembali di antara manusia dan sesame manusia dan di antara manusia dengan
Allah.
Selanjutnya Howard
Clinebell (2006:54) menambahkan fungsi penggembalaan itu dengan fungsi
Memelihara dan Mengasuh (Nurturing).
Tujuan dari pemeliharaan adalah memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi
yang diberikan oleh Allah kepada mereka, disepanjang perjalanan hidup mereka
dengan segala lembah-lembah, puncak-punjak, dan dataran-datarannya. Dalam
istilah teologis tradisional, proses pertumbuhan ini disebut “pengudusan” (Sanctification). Walaupun memelihara
adalah saling tumpang tindih dan jalin menjalin dengan keempat fungsi lain di
atas, fungsi memelihara adalah fungsi yang khas dan amat penting. Memelihara
dan membimbing adalah fungsi penggembalaan di mana pendidikan dan pelayanan
konseling saling bertautan.
Di lingkungan sekolah kegiatan
penggembalaan bisa dilakukan dalam segala kegiatan. Baik dalam kegiatan
pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Dalam dunia pendidikan istilah
penggembalaan sangat jarang dipakai. Istilah yang biasanya dipakai untuk
mengatakan kegiatan tersebut ialah Bimbingan Konseling dan yang melakukan
bimbingan tersebut disebut dengan konselor. Konselor pada umumnya memiliki
latar belakang pendidikan sesuai denga tugasnya tersebut. Namun bukan berarti
guru tidak bisa menjadi konselor di sekolah. Guru adalah pendidik, dan dalam
proses pendidikan itulah guru sudah menunjukkan dirinya sebagai konselor yang
membimbing siswa kearah yang lebih baik. Lagi pula, sama seperti yang telah
diterangkan sebelumnya bahwa tugas membimbing adalah tugas semua orang.
Sebagai gembala (pembimbing) bagi
murid-muridnya, guru agama dituntut untuk sensitif dalam mengobservasi anak
didiknya. Guru memiliki tugas yang berat mengenai hal ini, yaitu bagaimana agar
peserta diidk menjadi pribadi yang berkenan di hadapan Allah (Kis. 10:35).
Membentuk pribadi siswa bukanlah hal yang mudah, tetapi ketika kita
melakukannya terus menerus maka hal ini bukanlah menjadi hal yang mustahil.
Seorang gembala selalu menemani
domba-dombanya kemanapun mereka pergi. Mata gembala akan tetap melihat
sekeliling domba-dombanya untuk memastikan keselamatan dombanya sehingga
terhindar dari serangan binatang buas. Mazmur 23:1-6 mengatakan bahwa seorang
gembala akan membawa domba-dombanya ke air yang tenang dan membaringkan di padang
rumput yang hijau. Air yang tennag dan rumput yang hijau tidaklah muda di
temukan di daerah kering seperti di timur tengah. Tetapi karena gembala
mengasihi domba-dombanya kesulitan itu tidaklah menjadi penghalang baginya
untuk tetap memberikan yang terbaik bagi domba-dombanya.
Dalam dunia modern saat ini, peserta
didik ibaratkan kawanan domba. Mereka bisa saja diserang oleh pengaruh negatif
kemajuan teknologi sehingga mereka terjatuh. Oleh sebab itu, guru sebagai
gembala haruslah tetap waspada dan memberikan bimbingan kepada anak didiknya.
Tugas utama guru sebagai gembala bukanlah mengatasi masalah-masalah peserta
didik tetapi mencegah timbulnya masalah pada peserta didik itu.
Seorang gembala dalam pengajarannya
hendaknya harus benar-benar meniru teladan Yesus. Yesus adalah Gembala yang
baik (Maz 23:1-6) Ia tidak pernah meninggalkan domba-domba-Nya. Ia senantiasa
menuntun domba ke padang rumput yang hijau dan memberikan air yang jernih
sebagai minuman domba-Nya. Untuk itu guru juga harus melakukan
Sebagai seorang gembala, guru juga harus
tetap berguru kepada gembala Agung. Guru harus tetap menyerahkan dirinya
sepenuhnyakepada Tuhandan meminta agar Tuhanlah yang bekerja di dalm
kehidupannya.
2) Menjadi seorang pedoman dan pemimpin.
Dalam
filosofi masyarakat jawa, guru merukan salah satu kata yang memiliki makna
“digugu dan ditiru”. Digugu artinya segala ucapan seseorang itu dapat
dipercaya, sedangkan ditiru artinya bahwa segala tingkah laku seorang guru
adalah sebagai contoh/teladan bagi orang lain. Jadi seorang guru adalah seorang
teladan yang dapat dipercayai baik bagi peserta didik, masyarakat maupun
lingkungan sekitar.
Homrighausen (2012:164)
mengatakan, seorang guru pedoman dan pemimpin hendaknya menjadi teladan yang
menarik orang kepada Kristus, mencerminkan Kristus dalam sejarah pribadinya. Ia
tidak boleh memaksa peserta didiknya untuk masuk kedalam kepercayaan Kristen,
melainkan membimbing mereka dengan halus dan lemah lembut.
Dalam
dunia pendidikan, guru dituntut tidak hanya cakap dalam mengajar. Tetapi ia
juga harus mampu menjadi pedoman atau model bagi peserta didik. Sebagi model ia
akan dilihat dan dicontoh oleh segenap anak didik. Oleh sebab itu seorang guru
harus membekali dirinya lebih dahulu sehungga ia mampu menjadi pedoman atau
teladan bagi peseta didik (1 Timotius 4:12b). Ia juga harus mampu mencerminkan
Kristus di dalam dirinya sehingga peserta didik akan tertarik untuk mengikut
Kristus (Yohanes 13:15).
Menjadi seorang pedoman
guru berperan dalam menginspirasi, mengajar, dan memberikan contoh yang baik.
Pemimpin pada dasarnya
adalah orang yang melaksanan kepemimpinan. Namun demikian, ada perbedaan tegas
antara kepemimpinan dengan pemimpin. Kalau kepemimpinan merujuk pada proses
kegiatan, maka pemimpin merujuk pada pribadi seseorang. Menurut Kartini Kartono
(1994:33) pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecapakan dan kelebihan
di suatu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama
melakukan ativitas tertentu demi pencapaian suatu tujuan atau beberapa tujuan.
Guru sebagai pemimpin
hendaknya mampu menciptakan lingkungan belajar yang serasi, menyenangkan, dan
merangsang para siswa untuk mengenal lebih jauh kasih Allah dalam kehidupannya
masing-masing.
Tanggung jawab guru PAK haruslah memberitakan tentang
kebenaran. Kebenaran yang mewujudkan adalah satu-satunya kebenaran yang
berpengaruh. Oleh karena itu, setiap guru hendaklah merasa bahwa dirinyalah
pelajaran yang terbaik. Kehidupan seorang guru menjiwai pengajarannya. Sejarah
mencatat bahwa guru-guru Kristen yang terkenal adalah orang-orang yang
mempengaruhi murid-murid mereka karena kepribadian mereka sendiri yang baik.
Guru PAK sebagai pendidik di sekolah berperan dalam
mengajar firman Allah dan bertanggung jawab dihadapan Allah, sebab pekerjaan
ini adalah mulia dihapan Allah. Pekerjaan menjadi guru PAK adalah tugas yang
diberikan Allah sebagai karunia dari Allah untuk mengajar. Adapun maksud Allah
memnerikan karunia mengajar bagi setiap orang menerimanya adalah untuk
melaksanakan kehendak-Nya. Anak didik adalah domba-domba Allah yang memerlukan
biimbingan dan motivasi dari guru. Karena itulah guru sebagai pendidik harus
bertanggung jawab terhadap Tuhan untuk mengajar mereka dalam firman Tuhan serta
membawa anak-anak itu mengenal Allah.
Komitmen
yang benar dan motivasi yang kuat yang dibutuhkan agar panggilan sebagai guru
PAK dapat dijalankan dengan baik. Dalam mengajar, seorang guru PAK menjadi
mediator antara Allah dan peserta didik. Syarat yang terpenting bagi seorang
guru adalah kepribadiannya yang sifatnya suka memperhatikan anak didik dan
hasrat menolong anak didik. Sehubunngan dengan ini Homrighousen dan Enklaar
(2012:166) menyebutkan bahwa
syarat-syarat menjadi guru PAK yakni:
a)
Seorang guru harus mempunyai pengalaman
rohani. Perlu sekali ia sendiri mengenal Tuhan Yesus. Bantinnya harus dijamah
dan diterangi oleh Roh Kudus.
b)
Seorang guru harus mempunyai hasrat
sejati untuk menyampaikan Injil kepada sesamanya manusia. Harus ada dorongan
yang kuat untuk mengantar orang lain kepada Yesus Kristus.
c)
Seorang guru harus mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang isi iman Kristen. Ia harus mengenal Alkitab dengan baik.
Untuk itu ia sendiri perlu dididik dan dilatih sebelum ia mengajar orang lain.
d)
Seorang guru perlu mnegetahui bagaimana
iman bertumbuh dalam batin manusia dan bagaimana iman itu berkembang dalam
seluruh hidup orang percaya itu.
e)
Seorang guru harus menunjukkan kesetiaan
yang sungguh kepada gerejanya.
Ini
berarti seorang guru PAK harus mempelajari ilmu jiwa yang berhubungan dengan
soal-soal agama. Guru PAK juga berperan sebagai imam di dalam kelas yaitu
memimpin kebaktian, memimpin doa diawali atau diakhiri pelajaran. Ia juga
mengarahkan setiap anak didik untuk aktif ambil bagaian di dalam kebaktian.
Guru PAK juga berperan sebagai nabi yang memberikan dan menyampaikan kebenaran
Firman Tuhan, menegur sikap atau perilaku anak didik yang tidak berkenan
dihadapan Tuhan. Pengajarannya tetap berpusat kepada Yesus Kristu. Guru PAK
harus menunjukkan kesetiaanya yang
sungguh kepada gerejanya, ia sendiri harus rajin mengambil bagian dalam
kebaktian dan kegiatan gereja. Dan jangan hanya menaruh minat, guru PAK harus
mempunyai pribadi yang jujur dan pengabdian yang tinggi.
Menjadi pedoman
berarti guru menjadi contoh, panutan, maupun teladan bagi peserta didiknya. Dan
sebagai pemimpin guru berperan untuk membawa peserta didik untuk mnegenal Allah
secara benar. Sebagai pedoman maupun pemimpin, seorang guru haruslah memusatkan
kehidupan dan pengajaranya kepada Kristus.
3) Menjadi seorang
penginjil
Penginjil
berarti orang atau oknum yang mengabarkan injil. Kata “injil” sendri berarti
kabar baik. Yang diberitakan dalam Injil ialah Kristus telah mati bagi
dosa-dosa kita dan bangkit kembali. Inilah berita yang harus disampaikan dan
dijelaskan dalam penginjilan. Penginjilan harus dianggap sebagai suatu proses
pendidikan di mana kejelasan merupakan hal yang penting dan dimana tidak ada
tekanan psikologis yang diberikan.
Apakah
yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah “Penginjil” dan “Penginjilan” itu ?
Homringhausen dan Enklar (2012 : 177-182), ada pendeta dan anggota gereja yang
agak was-was kalau mendengar kata penginjilan atau evangelisasi, karena sering
istilah itu berbau bidat. Bukankah justru bidat-bidat itu yang kerap kali
mengadakan aksi evangelisasi secara besar-besaran, disertai banyak propaganda
dan metode yang kurang disetujui oleh pihak gereja? Penginjilan seperti itu
sering terlanjur dalam cara-cara yang dipakainya. Semangatnya sudah tidak sehat
lagi. Pertobatan banyak orang serentak, disebabkan paksaan rohani yang mengalahkan
jiwa manusia dengan terlalu murah, tentu saja dicurigai oleh gereja.
Penginjilan
itu tak lain hanyalah pemberitaan kabar kesukaan, yang memanggil manusia untuk
mempercayai segala janji Allah dalam Yesus Kristus, sehingga manusia akan
menyesalkan dosa-dosanya dan hidupnya yang buruk itu, lalu berserah kepada
Tuhan Yesus Kristus selaku Penebus dan Raja, mencari persekutuan dengan Dia
setiap hari, dan melayani Dia dalam segala lapangan hidupnya dengan patuh dan
setia. Injil Yesus Kristus harus diberitakan sedemikian rupa sehingga
memulihkan manusia. Injil itu hendak mentobatkan orang. Injil mengadili manusia
dan menyelamatkannya. Luther pernah mengatakan : “ injil mematikan Adam lama,
dan membangkitkan Adam baru”.
Penginjilan
itu tidak lain daripada membawa Yesus Kristus kepada sesama kita, sehingga
mereka dapat berjumpa muka dengan muka, dalam suatu pertemuan perseorangan yang
mesra. Bukan kita yang sanggup membuat orang menjadi orang Kristen. Melainkan
Kristus sendiri saya yang mengerjakan mejizat itu, dengan kuasa Roh Kudus yang
ada pada-Nya. Ia sendiri mulai bercakap-cakap dengan manusia, dan Dialah yang
meyakinkan mereka tentang kecelakaan mereka, dan melahirkan dalam batin mereka
kerinduan yang hangat akan keselamatan yang ditawarkan-Nya itu.
Menurut D.T
Niles (Homringhausen dan Enklar (2012 : 177-182), penginjilan itu seumpama
menerangkan kepada orang yang hampir mati kelaparan dan dahaga, dimana ia dapat
menemukan makanan dan minuman.
Guru sebagai
penginjil bertanggung jawab atas penyerahan diri setiap peserta didiknya kepada
Yesus. Artinya peserta didik menjadi murid Tuhan Yesus yang taat dan setia
kepadaNya. Jabatan Penginjil adalah salah satu dari 5 jabatan
yang terdapat di dalam Alkitab. Dikenal juga dengan Evangelist. Ada makna yang
dalam untuk jabatan Penginjil ini.
a) Evangelist/gospeler/revivalist : A preacher of the Christian
gospel (Seorang
pengkhotbah dari Injil
Kristen)
b) Preach : Speak, plead, or argue in favour
of; Deliver a sermon (Beritakanlah:
Bicaralah, memohon, atau berdebat mendukung;
Memberikan khotbah)
Ronald W. Leigh (2007:83), menngatakan bahwa penginjilan
adalah tugas kita. Kita tidak boleh keliru bahwa tugas kita sebagi penginjil
adalah untuk menghasilkan orang-orang yang bertobat. Karena menghasilkan
orang-oarang bertobat adalah tugas Allah. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan
seseorang. Paulus menegaskan hal ini ketika ia berkata, “Aku menanam, Apolos
menyiram, tetapi Allah yang member pertumbuhan. Karena itu yang peting bukanlah
yang menaman atau yang menyiram, melainkan Allah yang member pertumbuhan”(1
korintus 3:6-7).
Andar Ismail (2008:76-77) mengatakan bahwa penginjilan bisa
terjadi melalui berbagai bentuk, misalnya nyanyian, lukisan, sandiwara, tarian,
buku, perilaku, keteladanan, persahabatan, perbuatan baik, khotbah, cerita, dan
sebagainya. Tampak di sini bahwa penginjilan tidak hanya bersifat verbal.
Bahkan mungkin bentuk non verbal berkhasiat lebih ampuh. Misalanaya kejujuran
seseorang ditengah lingkungan yang korup merupakan kesaksian yang ampuh
ketimbang khotbah tentang kejujuran padahal khotbah itu sendiri tidak jujur.
Demikian juga tampak di sini bahwa penginjil bukan hanya tugas pendeta namun
terutama harus tiap pengikut Kristus
tanpa terkecuali. Seorang jompo yang buta huruf pun bisa menjadi penginjl
melalui sikap dan gaya hidupnya.
Penginjilan bukanlah masalah cerita-cerita yang
mengharukan,taktik-taktik yang menakutkan, manipulasi ataupun bentuk-bentuk
tekanan psikologis lainnya. Sebaliknya, penginjilan jelas-jelas terpusat pada
intetek. Tugas ini mencakup penjelasan yang jernih mengenai berita Injil.
Oleh sebab itu, penginjilan tidak patut mengandung unsur
desakan apalagi paksaan dalam bentuk apapun itu. ini berarti penginjilan tidak
boleh bersifat menipu. Injil yang disertai iming-iming.”kalau menerima Kristus,
kita akan kaya raya , bebas dari derita dan berumur panjang” merupakan
penipuan, karena Kristus sendiri hidup bersahaja, banyak menderita dan berumur
pendek. Ini berarti juga penginjilan tidak patut bersifat menakut-nakuti,
misalnya dengan ucapan, “Terimalah Kristus hari ini juga,siapa tau sebentar
malam maut menjemput”.
Berbicara tentang penginjilan di lingkungan pendidikan berarti
mengabarkan kabar bail di lingkungan pendidikan tersebut. Penginjilan sejatinya
bukanlah hanya untuk mereka yang belum mengenal Yesus(Non-Ktisten) tetapi juga
kepada orang Kristen itu sendiri. Semua orang perlu diingatkan tentang kabar
baik itu, untuk menyegarkan iman mereka kembali.
Seperti yang telah dijelasakan di atas,
penginjilan itu tidaklah hanya sebatas khotbah (verbal) tetapi penginjilan itu
bisa dilakukan melalui perbuatan (Non-Verbal). Guru sebagai penginjil
dilingkungan sekolah haruslah melakukan kedua hal ini. Pada saat pembelajaran
ia melakukannya dengan Verbal, bersamaan dengan itu juga ia harus menunjukkan
perilaku yang benar karena itu juga merupakan bagian dari penginjilan.
Homrighausen
dan I.H Enklaar (2012:166) mengemukakan tujuan penginjilan itu yang dilakukan
guru mepada siswa ialah supaya mereka sungguh-sungguh menjadi murid-murid Tuhan
Yesus, yang rajin dan setia.
Sebagai
penginjil beban dan permohonan doa kita haruslah sama seperti yang diucapkan
Paulus, “Berdoa jugalah untuk kami, supaya Allah membuka pintu untuk
pemberitaan kami, sehingga kamu dapat berbicara tentang rahasia Kristus. Dengan
demikian aku akan menyatakannya,sebagai mana seharusnya” (kolose 4:3-4).
Untuk
melengkapi tujuan pengajaran Agama Kristen dan Penginjilan di sekolah, yang
merupakan usaha “pemuridan” dan sekaligus “penginjilan”, objek Pendidikan Agama
Kristen di sekolah sebagaimana ditulis oleh Homringhausen dan Enklar (2012 :
48-49), di bawah ini akan menambah wacana dalam memahami tujuan Pengajaran
Agama Kristen di sekolah :
1)
Pendidikan Agama Kristen menjadikan
murid-murid menghargai dirinya sendiri.
2)
Pengajaran Agama Kristen membuat mereka
menjadi warga negara yang bertanggungjawab.
3)
Melalui pengajaran Agama Kristen,
diharapkan mereka dapat belajar menghargai dunia ini.
4)
Pengajaran Agama Kristen supaya mereka
dapat membedakan nilai-nilai yang baik dan yang
jahat.
5)
Pengajaran Agama Kristen supaya mereka
dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dengan filsafat hidup
Kristen.
6)
Supaya mereka menjadi orang yang dapat
di percaya.
7)
Supaya mereka belajar bekerja sama dan
tolong-menolong.
8)
Sepaya mereka selalu mengajar kebenaran.
9)
Supaya mereka bersikap positif terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, dan terhadap
perkembangan-perkembangan sejarah umum.
10)
Dengan pengajaran Agama Kristen, supaya mereka
suka turut merayakan hari-hari raya Kristen dalam persekutuan Kristen.
Menjadi seorang penginjil haruslah bangga
dengan tugas mulia mempersiapkan kedatangan Yesus kedua kali (mempercepat
ataupun memperlambat) dan yang pertama kali membentuk jemaat, adalah pioneer
dalam pembentukan Tubuh Kristus. Dengan demikian, berikut persiapan yang harus dimiliki seorang penginjil
:
a) Penginjil
harus tahu Firman Tuhan
b) Penginjil
harus peka terhadap Roh Kudus
c) Penginjil
haruslah mempunyai hati yang mengasihi seperti: “Luk 10:33, Lalu datang seorang
Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat
orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
Dengan
demikian Robert Choun & Michael Lawson (1993 : 136-140), Menegaskan, peran
guru sebagai penginjil hanyalah untuk menyampaikan kasih Allah kepada setiap
anak sesuai dengan tingkat pemahaman mereka dan peka terhadap kesiapan anak
untuk menghadapi kasih itu. Tugas mengarahkan hati anak kapada Tuhan bukanlah
tugas guru melainkan tugas Roh Kudus. Tidak semua anak atau kaum muda yang
datang ke gereja memiliki latar belakang atau pengetahuan yang sama tentang
Tuhan. Pembentukan awal yang harus di
perhatikan, bahkan pada anak yang lebih besar adalah tentang kesadaran akan
keberadaan Allah. Para guru harus menanyakan pertanyaan penting untuk
memastikan apakah mereka sudah mengerti atau belum.
Menurut Robert, lima langkah berikut
ini dapat di gunakan sebagai tuntunan umum bagi seorang guru untuk menyampaikan
injil kepada anak didik:
a. “Allah yang
sama, yang berkuasa telah menciptakan bumi dan segala isinya, juga menciptakan
kamu. Dia menciptakan kamu dengan sangat istimewa, dan dia juga sangat
mengasihi mu. Dia ingin kamu juga mengasihi-Nya dan menjadi bagian dari
keluarga-Nya. (yakinkan siswa, bahwa hal
ini, tidak berarti mereka harus meninggalkan keluarga mereka di bumi ini, namun
bergabung dengan keluarga istimewa dengan saudara-saudara di seluruh bumi.)
b. “Setiap kamu
melakukan hal-hal yang tidak baik, atau bahkan berfikir untuk melakukannya, itu
disebut ‘dosa’. Dosa ini menjauhkan kita dari keluarga Allah. (seorang anak
harus dapat membuat daftar beberapa dosa yang bisa saja mereka lakukan dalam
hidup mereka sehari-hari.)
c. “Alkitab
kita bercerita tentang orang pertama yang melakukan dosa. Mereka tidak
melakukan apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Karena mereka berdosa,
suatu hari mereka akan menjadi tua dan mati. (Namun, siswa mungkin perlu
diberitahu bahwa kematian tidak akan terjadi secara cepat sebagai akibat dari
perilaku yang tidak baik, tetapi kematian datang di saat yang tidak kita
ketahui. Kematian adalah akibat alami dari dosa.)
d. “kita tidak
harus menunggu sampai kita mati dan kesurga untuk berteman dengan-Nya. Kita
dapat menjadi bagian dari keluargaNya sekarang. Kita harus mengatakan kepada
Allah kita tahu bahwa kita ini berdosa dan kita menyesal. Karena lewat apa yang
telah dilakukan Yesus, Allah dapat memberi kita hadia pengampunan yang
cuma-cuma.”
e. “ketika kamu
percaya Tuhan mengampuni dosamu, kamu menjadi anggota keluarga-Nya. Sebagai
anakNya, kamu akan ingin mematuhi aturan-Nya. Orang-orang akan tahu bahwa kamu
adalah anak Allah jika mereka melihatmu mematuhi orang tuamu, menolong sesama,
dan menjadi anak yang baik hati. Kamu dapat menceritakan Yesus kepada
teman-temanmu dan mungkin mereka pun ingin menjadi bagian dari keluarga-Nya
juga. (1 Yoh 4: 8, Rom 3:23, Rom 6:23, 1 Kor 15 : 3, 1 Yoh 4 : 14, Yoh 1:12,
Maz 119 :11)
3. Defenisi Variabel Y ( Meningkatkan Kualitas Afektif Siswa)
a. Defenisi Meningkatkan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) kata Meningkatkan berasal dari kata tingkat berarti menaikkan (derajat,
taraf, dan sebagainya). Mempertinggi memperhebat (produksi dan sebagainya).
Mereka akan mampu meningkatkan penghidupannya. Kata meningkatkan biasanya
digunakan untuk arti yang positif. Contoh penggunaan katanya adalah peningkatan
mutu pendidikan, meningkatkan kesehatan masyarakat, serta peningkatan
keterampilan para penyandang cacat. Meningkatkan dalam arti di atas memiliki
arti yaitu usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada sebelumnya.
Kata meningkatkan juga dapat menggambarkab perubahan dari keadaan atau sifat
yang negatif berubah menjadi positif. Sedangkan hasil dari sebuah meningkatkan
dapat berupa kualitas dan kuantitas. Hasil dari suatu peningkatan juga ditandai
dengan tercapainya tujuan pada suatu titik tertentu. Dimana saat suatu usaha
atau proses telah sampai pada titik tersebut maka akan timbul perasaan puas dan
bangga atas pencapain yang telah diharapkan.
b. Defenisi
Kualitas
Menurut
KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kualitas adalah tingkat baik buruknya
sesuatu, kadar,derajat atau taraf. Kualiatas didefinisikan sebagai karakteristik
tertentu atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu.
c.
Defenisi
Afektif
Menurut Nana Sudjana (1990: 29)
ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli menngatakan bahwa
sikap seseorang dapat diramalkan perubanhannya, bila seseorang telah memiliki
penguasaan kognitif yang tinggi.
Menurut Martin dan Briggs dalam
buku Ali Mudlofir dan Evi Fatimatur Rusydiyah (2016:97) menyimpulkan bahwa
afektif adalah konsep diri, kesehatan mental, dinamika kelompok, pengembangan
personal, moralitas, tingkah laku, nilai, pengembangan ego, perasaan, motivasi,
dan lain-lain
d.
Defenisi Siswa
Siswa
adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan yang selanjutnya diproses
pendidikan,sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.Sebagai suatu komponen pendidikan,siswa dapat ditinjau dari
berbagai pendekatan,anatara lain:pendekatan social,pendekatan psikologis dan
pendekatan edukatif atau pedagogis.
Menurut
UU RI No. 20 tahun 2013 pasal 1 ayat 4 mengenai sistem pendidikan
nasional,dimana peserta didik atau siswa adalah anggota masyarakat yang
berusaha mengembangkan diri mereka melalui proses pada jalur dan jenjang dan
jenis pendidikan tertentu. Selain itu pengertian peserta didik atau siswa
adalah orang yang belum mencapai dewasa,yang membutuhkan usaha,bantuan bimbingan dari orang lain yang telah dewasa
guna melaksanan tugas sebagai salah satu makhluk Tuhan, sebagai umat manusia,sebagai
warga Negara yang baik,dan sebagai salah satu masyarakat serta sebagai suatu
pribadi atau individu.
4.
Landasan Variabel Y ( Kualitas Afektif Siswa)
Wina
Sanjaya (2008:130) domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan
apresiasi. Domain ini merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari domain
kognitif. Artinya seseorang hanya akan memiliki sikap tertentu terhadap sesuatu
objek manakala telah memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Berkenaan
dengan ranah afektif, ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil
belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar atau sederhana sampai
tingkat yang kompleks.
a. Reciving/attendening,
yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulai) dari luar yang
datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Dalam
tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, control, dan
seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
b. Responding atau
jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang
datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam
menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
c. Valuing
(penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau
stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima
nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan
terhadap nilai tersebut.
d. Organisai,
yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu system organisasi, termasuk
hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai yang
telah dimilikinya. Yang termasuk ke dalm organisasi ialah konsep tentang nilai,
organisasi system nilai, dan lain-lain.
e. Karakteristik
nilai atau internaliasi nilai, yakni keterpaduan semua system nilai yang telah
dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Ke
dalam termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya
Pengalaman
belajar yang relevan dengan berbagai jenis tingkatan afektif tersebut antara
lain: Berlatih memberikan respon atau reaksi terhadap nilai-nilai yang
dihadapkan kepadanya, berlatih menikmati atau menerima nilai, norma, serta
objek yang mempunyai nilai etika dan estetika; berlatih menilai di tinjau dari
segi baik buruknya, adil tidak adil, indah tidak indah terhadap objek studi;
berlatih menerapkan/ mempraktekkan nilai, norma, etika dan estetika dalam
perilaku kehidupan sehati-hari. Secara konkrit, pengalaman belajar yang perlu
dilakukan agar siswa mencapai berbagai tingkatan kompetensi afektif tersebut
antara lain denga mengamati dan menirukan contoh/model/panutan, mendatangi
objek studi yang dapat memupuk pertumbuhahan nilai, berbuat atau berpartisipasi
aktif sesuia dengan tuntutan nilai yang dipelajari dan sebagainya. Pendidikan
afektif dapat diartikan pendidikan untuk pengembangan sosial-individu,
perasaan, emosi dan moral-etika.
Suharsimi
Arikunto (2013: 193). Tujuan penilain afektif adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mendapatkan umpan
balik (feedback), baik bagi guru
maupun siswa sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan
mengadakan program perbaikan (remedia program) bagi anak didiknya.
b.
Untuk mengetahui
tingkat perubahan tingkah laku anak didik yang dicapai, anata lain diperlukan
sebagai bahan untuk perbaikan tingkah laku anak didik, pemberian laporan kepada
orang tua, dan penentuan lulus tidaknya anak didik.
c.
Untuk menempatkan anak
didik dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat
pencapaian dan kemampuan serta karakteristik anak didik.
d.
Untuk mengenal latar
belakang kegiatan belajar dan kelainan tingkah laku anak didik.
Alih Mudlofir
dan Evi Fatimatur Rusydiyah (2016:98) pendidikan afektif penting dilakukan
dalam masyarakat karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Antara
proses belajar, tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia dan
bagaimana pemikiran kita dan perasaan kita saling berhubungan dan sangat
berpengaruh dalam menentukan keputusan.
b. Penelitian
Goleman menyatakan otak terbagi menjadi dua: emosional dan rasioal.
Sesuai dengan
pernyataan di atas, karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya
menurut Mardapi (2004) mengatakan dalam
kaitan dengan afektif bahwa kualitas
afektif yang penting, yaitu sikap, minat, nilai.
a.
Minat
Djamarah,
(2008:166), menjelaskan bahwa minat adalah kecenderungan yang menetap untuk
memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas atau suatu rasa lebih suka dan
rasa keterikatan pada suatu hal/aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Slameto
(2013:180) menjelaskan bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa
ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada
dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan
sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar
minat. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak didik yang memiliki minat terhadap
subjek tertentu maka ia cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar
terhadap objek tersebut. Aktivitas siswa yang memiliki minat terhadap subjek
tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subjek
tertentu.
Minat
tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian Minat terhadap sesuatu
dipelajari dan memengaruhi belajar selanjutnya serta memengaruhi penerimaan
minat-minat baru. Jadi minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan
menyokong belajar selanjutnya. Walaupun minat terhadap sesuatu hal tidak
merupakan hal yang hakiki untuk dapat dipelajari hal tersebut, asumsi umum
menyatakan bahwa minat akan membantu seseorang mempelajarinya.
Mengembangkan
minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu siswa melihat bagaimana
hubungan antara materi yang diharapkan untuk dipelajarinya dengan dirinya
sendiri sebagai individu. Proses ini berarti menunjukan pada siswa bagaimana
pengetahuan atau kecakapan tertentu memengaruhi dirinya, melayani
tujuan-tujuannya, memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Bila siswa menyadari bahwa
belajar merupakan suatu alat untuk mencapai beberapa tujuan yang dianggapnya
penting, dan bila siswa melihat bahwa hasil dari pengalaman belajarnya akan
membawa kemajuan pada dirinya, kemungkian besar ia akan berminat ( dan
bermotivasi) untuk mempelajarinya.
Suatu
minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa
lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan
melalui partisipasi dakam suatu
Menurut
Getzel (1966: 98), minat adalah suatu disposisi yang tergorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktvitas,
pemahaman keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI :1990: 583), minat atau keinginan
adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat
adalah intensitanya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang
memiliki intensitas tinggi (Sudrajat, 2008) Penilaian minat dapat digunakan
untuk:
a.
Mengetahui minat
peserta didik sehingga mud ah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b.
Mengetahui bakat dan
minat peserta didik yang sebenarnya,
c.
Pertimbangan penjurusan
dan pelayanan individual peserta didik,
d.
Menggambarkan keadaan
langsung di lapangan/kelas,
e.
Mengelompokkan pserta
didik yang memiliki minat sama,
f.
Acuan dalam menilai
kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam
penyampaian materi,
g.
Mengetahui tingkat
minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h.
Bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i.
Meningkatkan motivasi
belajar peserta didik.
Minat
yang besar terhadap suatu sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk
mencapai tujuan yang diminati. Jadi minat belajar yang besar cenderung
menghasilkan prestasi yang tinggi. Sebaliknya minat belajar yang kurang akan
menghasilkan prestasi yang rendah. Harun Iskandar (2010: 47) menjelaskan bahwa
minat adalah perasaan yang menyatakan bahwa suatu aktivitas, pekerjaan atau
objek itu berharga atau berarti bagi individu. Hilgard
dalam ( Slameto, 2003: 57) mengemukakan memberi rumusan tentang minat adalah
sebagai berikut: “interest is persisting
tendency to pay attention to and enjoy some activity or content”.
Minat
adalah kecenderungan yang tetap untuk memperlihatkan dan mengenang beberapa
kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus-menerus yang
disertai dengan rasa senang.
Beberapa
ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan
minat pada suatu subjek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat siswa
yang telah ada. Misalnya siswa menaruh minat pada olahraga balap mobil. Sebelum
mengajarkan percepatan gerak, pengajar dapat menarik perhatian siswa dengan
menceritakan sedikit demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran sesungguhnya.
Disamping
memanfaatkan minat yang telah ada, Tanner & Tanner (1975) menyarankan agar
para pengajar juga berusaha membentuk minat-minat baru pada diri siswa. Ini
dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada siswa mengenai hubungan
antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang
lalu, menguraikan kegunaannya bagi siswa di masa yang akan datang. Rooijakkers
(1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dengan cara menghubungkan bahan
pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan
siswa. Siswa, misalnya, akan menaruh perhatian pada pelajaran gaya berat, bila
hal itu dikaitkan dengan peristiwa mendaratnya manusia pertama di bulan.
Bila
usaha-usaha di atas tidak berhasil, pengajar dapat memakai insentif dalam usaha
mencapai tujuan pengajaran. Insentif merupakan alat yang dipakai untuk membujuk
seseorang agar melakukan sesuatu yang tidak mau melakukannya atau yang tidak
dilakukannya dengan baik. Diharapkan pemberian insentif akan membangkitkan
motivasi siswa, dan mungkin minat terhadap bahan yang diajarkan akan muncul.
Studi-studi
eksperimental menunjukan bahwa siswa-siswa yang secara teratur dan
sistematis diberi hadiah karena telah
bekerja dengan baik atau karena perbaikan dalam kualitas pekerjaannya,
cenderung bekerja lebih baik daripada siswa-siswa yang dimarahi atau dikritik
karena pekerjaanya yang buruk atau karena tidak adanya kemajuan. Menghukum
siswa karena hasil kerjanya yang buruk
tidak terbukti efektif, bahkan hukuman terlalu kuat dan sering lebih lambat
menghambat belajar. Tetapi hukuman yang ringan masih lebih baik daripada tidak
ada perhatian sama sekali. Hendaknya pengajar bertindak bijaksana dalam
menggunakan insentif. Insentif apa pun yang dipakai perlu disesuaikan dengan
diri siswa masing-masing.
b.
Sikap
Menurut
Slameto (2013: 183) sikap merupakan sesuatu yang dipelajari, dan sikap
menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa
yang dicari individu dalam kehidupan.
Sikap merupakan
suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu
objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang
positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan
sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai,
keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang
dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi
pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Wina
Sanjaya (2006: 276-277) sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima
atau menolak objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik.
Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima
atau menolak suatu subjek, berdasarkan penilain terhadap objek itu sebgai hal
yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berharga/ berguna (sikap
negatif) . Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang beperanan sekali dalam
mengambil tindakan (action),
lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa
alternatif (Winkel, 2004)
Menurut
Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk
merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep,
atau orang. Sementara itu, Chaplin (1981) dalam “Dictionary of Psychology” menyamakan sikap denag pendirian. Lebih
lanjut dia mendefenisikan sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan yang
relative stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan suatu cara tertentu
terhadap orang lain, objek, lembaga, atau pesoalan tertentu. Dilihat dari sudut
pandang yang agak berbeda, sikap merupakan kecenderungan untuk mereaksi
terhadap orang, lembaga, atau peristiwa, baik secara positif maupun negatif.
Sikap peserta didik terhadap objek misalnya
sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini
penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata
pelajaran misalnya Pendidikan Agama Kristen, harus lebih positif setelah
peserta didik mengikuti pembelajaran Agama Kristen dibanding sebelum mengikuti
pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan
pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus
membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang
membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
Pada umumnya rumusan-rumusan mengenai sikap mempunyai
persamaan unsur, yaitu adanya kesediaan untuk berespon terhadap suatu situasi.
Triandis (1971) mendefinisikannya
sebagai berikut:
“An attitude is an
idea charged with emotion which predisposes a class of actions to a particular
class of social situations”.
Rumusan
di atas menyatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen, yaitu komponen
kognitif, komponen afektif, dan komponen tingkah laku. Sikap selalu berkenaan
dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan
senang positif atau negatif. Orang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek
yang bernilai dalam pandangannya, dan ia akan bersikap negattif terhadap objek
yang dianggapnya tidak bernilai dan atau juga merugikan. Sikap ini kemudian
mendasari dan mendorong ke arah sejumlah perbuatan yang satu sama lainnya
berhubungan. Hal yang menjadi objek sikap dapat bermacam-macam. Sekalipun
demikian, orang hanya dapat mempunyai sikap terhadap hal-hal yang diketahuinya.
Jadi harus ada sekedar informasi pada seseorang untuk dapat bersikap terhadap
suatu objek. Informasi merupakan kondisi pertama untuk suatu sikap. Bila
berdasarkan informasi itu timbul perasaan positif atau negatif terhadap objek
dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu, terjadilah sikap.
Sikap
terbentuk melalui bermacam-macam cara, anatara lain:
1. Melalui pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat
pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman
traumatik);
2. Melalui
imitasi,
Peniruan dapat terjadi
tanpa sengaja, dapat pula dengan sengaja. Dalam hal terakhir individu harus
mempunyai miinat dan rasa kagum terhadap mode. Di samping itu diperlukan pula
pemahaman dan kemampuan untuk mengenal dan mengiingat model yang hendak ditiru;
peniruan akan terjadi lebih lancar bila dilakukan secara kolektif daripada
perorangan;
3. Melalui
sugesti,
Di sini seseorang
membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang
jelas, tetapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang atau
sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya;
4. Melalui
identifitas
Di sini seorang meniru
orang lain atau suatu organisasi/ badan tertentu didasari suatu keterikatan
emosional sifatnya; meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha
menyamai; identifikasi seperti ini sering terjadi antara anak dengan ayah,
pengikut dengan pemimpin, siswa dengan guru, antara anggota suatu kelompok
dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang dianggap paling mewakili
kelompok yang bersangkutan.
Dari
uraian di atas, jelaslah bahwa aspek
afektif pada diri siswa besar peranannya dalam pendidikan, dan karenanya tidak
dapat kita abaikan begitu saja. Pengukuran terhadap aspek ini amat berguna dan
lebih dari itu kita harus memanfaatkan pengetahuan kita mengenai kualitas
afektif siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Merangsang
perubahan sikap pada diri seseorang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan,
karena ada kecenderungan sikap-sikap untuk bertahan. Ada banyak hal yang
menyebabkan sulitnya mengubah sikap, antara lain;
1.
Adanya dukungan dari
lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan; manusia ingin selalu mendapatkan
respond dan penerimaan dari lingkungan, dank arena itu ia akan berusaha
menampilkan sikap-sikap yang dibenarkan oleh lingkungannya; keadaan semacam ini
membuat orang tidak cepat mengubah sikapnya
2.
Adanya peranan tertentu
dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang (misalnya ‘egodefensive’);
3.
Bekerjanya asas
selektivitas;
Seseorang
cenderung untuk tidak mempersepsi data-data baru yang mengandung informasi yang
bertentangan dengan pandangan-pandangan dan sikap-sikapnya yang telah ada;
kalaupun sampai dipersepsi, biasanya tidak bertahan lama, yang bertahan lama
adalah informasi yang sejalan dengan pandangan atau sikapnya yang sudah ada;
4.
Bekerja prinsip
mempertahankan keseimbangan;
Bila
kepada seseorang disajikan informasi yang dapat membawa suatu perubahan dalam
dunia psikologisnya, maka informasi itu akan dipersepsi sedemikian rupa,
sehingga akan menyebabkan perubahan-perubahan yang seperlunya saja;
5.
Adanya kecenderungan seseorang
untuk menghindari kontak dengan data yang bertentangan dengan sikap-sikapnya
yang telah ada (misalnya tidak mau menghadiri ceramah mengenai hal yang tidak
disetujuinya);
6.
Adanya sikap yang tidak
kaku pada sementara orang untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya sendiri.
Ada
beberapa metode yang dipergunakan untuk mengubah sikap, antara lain:
a.
Dengan mengubah
komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan. Caranya dengan memberi
informasi-informasi baru mengenai objek sikap, sehingga komponen kognitif
menjadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan akan merangsang komponen afektif dan
komponen tingkah lakunya.
b.
Dengan cara mengadakan
kontak langsung dengan objek sikap. Dalam cara ini komponen afektif turut pula
dirangsang. Cara ini paling sedikit ia
akan merangsang orang-orang yang bersikap anti untuk berpikir lebih jauh
tentang objek sikap yang tidak mereka senangi itu.
c.
Dengan memaksa orang
menampilkan tingkah laku-tingkah laku baru yang tidak konsisten dengan
sikap-sikap yang sudah ada. Kadang-kadang ini dapat dilakukan melalui kekuatan
hokum. Dalam hal ini kita berusaha langsung mengubah komponen tingkah lakunya.
Meskipun
terdapat banyak faktor yang menyebabkan sikap cenderung bertahan, namun dalam
kenyataannya tetap terjadi perubahan-perubahan sikap sebagaimana yang terlihat
dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan zaman
akan membawa perubahan dalam hal yang dibutuhkan dan diinginkan oleh
orang-orang pada saat tertentu, juga akan terjadi perubahan dalam sikap mereka
terhadap berbagai objek. Ini menunjukkan bahwa usaha mengubah sikap perlu
dikaitkan pula dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang akan
diusahakan perubahan sikapnya. Selain itu perlu pula ditelaah arah dari
perubahan yang diinginkan. Biasanya perubahan yang konkuren ( misalnya suatu sikap
positif ingin dibuat lebuh positif atau sikap negatif) lebih muda dicapai
daripada perubahan yang inkonkuren (misalnya sikap yang negatif ingin diubah
menjadi positif, atau sebaliknya).
Para ahli
mengatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sikap, pengajar perlu bertindak
sebagai seorang diagnostikus dan terapis. Mula-mula harus ditetapkan makna
fungsional dari sikap-sikap yang ada dan ingin diubah bagi siswa yang memiliki
sifat tersebut. Kemudian diteliti kebutuhan-kebutuhan apa yang dipuaskan oleh
sikap-sikap yang ingin diubah. Teliti pula perasaan-perasaan yang bagaimanakah
yang menyertai sikap-sikap tersebut. Juga dukungan lingkungan terhadap
sikap-sikap tersebut diketahui.
Bila diagnosis
tidak tepat, maka perubahan yang diharapkan sulit untuk terjadi. Dalam hal ini
tidak ada suatu pegangan yang pasti untuk menghindarkan kekeliruan dalam
diagnosis. Saran yang dapat diberikan adalah mengumpulkan informasi selengkap
mungkin mengenai sikap dan latar belakang sikap yang ingin diubah. Disamping
itu kita perlu mempertimbangkan pengarahan masing-masing komponen sikap yang
bersangkutan.
c.
Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan subjek
keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan
yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu
organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan
nilai mengacu pada keyakinan.
Menurut Tyler (1973), nilai adalah
suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu yang
mengendalikan pendidikan dalam mengarahkan minat, sikap, kepuasan.
Menurut Wina Sanjaya (2006: 274)
nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan
tidak, adil dan tidak adil, dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua
itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku
yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasrnya standar perilaku,
ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik,
indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, dan sebagainya, sehingga standar
itu yang akan mewarnai perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai
pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh
karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik
dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor
yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a.
Normativist.
Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa
kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu (1) kepatuhan pada nilai atau
norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya
sendiri; (3) kepatuhan pad ahasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari
peraturan itu.
b.
Integrakist. Yaitu
kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang
rasional.
c.
Fenomenalist.
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi
d.
Hedonist.
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dalam masyarakat
yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak merupakan hal
yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era globalisai dewasa ini, anak
akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya
baik. Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan
mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu
kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh
nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat.
Nilai bagi
seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan
menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. oleh
sebab itu, maka sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan
diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah di atas segalanya,
maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. dengan
demikian sikap seseorang sangat tergantung pada system nilai yang dianggapnya
paling benar, dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang
tersebut.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui
pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek.
Misalkan, jika seseorang berhadapan dengan suatu objek, ia akan menunjukkan
gejala senang-tidak senang, atau suka-tidak suka. Seseorang yang berhadapan
dengan pendidikan sebagai suatu objek, maka manakala ia mendengarkan dialog itu
sampai tuntas; dan sebaliknya seseorang yang menunjukkan gejala
ketidaksenagannya terhadap isu pendidikan, ia akan tutup telinga atau
memindahlan chanel televisinya. Gulo
(2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut:
1.
Nilai tidak bisa
diajarakan tetapi diketahui dari penampilannya.
2.
Pengembangan domain
afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
3.
Masalah nilai adalah
masalah emosional dank arena itu dapat berubah, berkembang, sehinggan bisa
dibina.
4.
Perkembangan nilai atau
moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Target nilai cenderung menjadi ide,
target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap perilaku. Arah nilai dapat
positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi
atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
B. Kerangka
Konseptual
Kerangka konseptual adalah
sebuah pernyataan teoritis yang menunjukkan tentang ada tidaknya hubungan teoritis antara
Tanggungjawab Guru PAK sebagai variabel X dengan Kualitas afektif Siswa sebagai variabel Y.Sedangkan tujuan dari
kerangka konseptual adalah kristalisasi dari teori-teori yang telah diuraikan
terdahulu dalam kerangka teoritis. Hal ini dimaksudkan Untuk menguji dan
membuktikan bagaimana “Tanggung Jawab
Guru Pendidikan Agama Kristen”.
1.
Menjadi seorang gembala bagi murid-muridnya.
Seorang gembala sejatinya adalah seorang
yang melindungi dan memenuhi kebutuhan kawanan dombanya kemanapun dan dimanapun
domba-dombanya itu berada. Oleh sebab itu, guru sebagai seorang gembala bagi
siswa-siswinya berperan untuk membimbing mereka kejalan yang benar dan memenuhi
kebutuhan rohani mereka. Guru harus memberikan perhatiannya kepada
siswa-siswinya itu. tidak hanya mengenal namanya saja, guru juga harus mengenal
latar belakang dan kepribadiannya. Seorang guru juga harus mencintai mereka dan
mendoakan mereka kepada Allah. Guru juga harus mengingat bahwa dalam bimbingan
siswa-siswinya, ia juga harus meminta bimbingan dari Tuhan sang Gembala Agung.
Dengan bimbingan yang benar, maka siswa juga terdorong untuk melakukan yang
benar. Sehingga
secara teoritis Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang gembala bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas
afektif siswa.
2.Menjadi seorang Pedoman danPemimpin
Pedoman berarti yang dipedomani,
dicontoh, dijadkan model, dan dijadikan anutan yang tidak hanya sebatas fisik
saja tetapi juga sikap spritual dan perbuatan. Pemimpin sendiri berarti seorang
yang memiliki kecakapan dalam suatu bidang sehingga mampu mempengaruhi orang
lain untuk melakukan suatu hal. Menjadi pedoman dan pemimpin bukanlah suatu
perkara yang mudah. Seorang gembala harus mampu mempersiapkan dirinya sebagai
orang yang benar-benar layak untuk dipedomani dan siap untuk memimpin. Oleh
sebab itu, hendaklah ia menjadi pedoman yang baik sehingga siswa-siswinya
memiliki perilaku yang baik juga. Ketika siswa berperilaku baik maka guru telah
memimpin mereka ke jalan yang benar. Oleh sebab itu, secara teoritis Guru
Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang
pedoman dan pemimpin bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas afektif
siswa.
3. Menjadi
seorang Penginjil
Penginjilan dapat didefenisikan
sebagai proses menjelaskan injil kepada orang berdosa dan mengundangnya untuk
percaya kepada Kristus. Dengan penginjilan maka siswa akan menjadi murid-murid
Tuhan Yesus yang rajin dan setia, dengan sungguh-sungguh. Dengan penginjilan
mereka akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang kebenaran sejati dan apa
yang diluar kebenaran itu. Sehingga secara teoritis Guru Pendidkan Agama Kristen
menjadi seorang penginjil bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
C. Model Teoritis
Untuk mengetahui gambaran model teoritis secara
sistematis dalam rangka analisis data mengenai “Tanggung jawab guru PAK dalam meningkatkan
kualitas afektif siswa” dapat digambarkan sebagai berikut:
KUALITAS
AFEKTIF
1. Minat
2. Sikap
3. Nilai
|
TANGGUNG JAWAB
GURU PAK
1. Sebagai
gembala
2. Menjadi
pedoman
3. Seorang
penginjil
|
D. Rumusan Hipotesa
Hipotesa berasal
dari dua kata yaitu hypo (belum tentu benar) dan tesis (kesimpulan). Menurut
Sekaran (2005) yang dikutip oleh Juliansyah Noor mendefenisikan hipotesis
sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih
variable yang diungkap dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hipotesis
merupakan jawaban sementara atau hasil sementara terhadap suatu masalah yang
diteliti dan dihadapi. Hipotesis ini perlu dilakukan pembuktian atau pengujian
akan kebenarannya. Sugiyono (2009 :284) juga menambahkan hipotesis adalah
jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan.
Berdasarkan
kerangka Teoritis dan kerangka konseptual yang telah di uraikan, maka sebagai
rumusan hipotesis dalam penelitian ini:
1.
Hipotesa Umum
Guru Pendidikan
Agama Kristen bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas afektif siswa di
kelas IX SMP Negeri 1 Pematang Bandar Tahun Ajaran 2019/2020.
2.
Hipotesa Khusus
1)
Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang gembala Bertanggungjawab secara signifikan dalam
meningkatkan kualitas afektif siswa.
2)
Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang pedoman dan pemimpin Bertanggungjawab secara
signifikan dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
3)
Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang penginjil Bertanggunjawab
secara signifikan dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar