Senin, 30 September 2019

Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Meningkatkan Kualitas Afektif Siswa Kelas IX Di SMP Negeri 1 Pematangbandar


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena Kasih KaruniaNya yang menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang sederhana ini, baik dari isi maupun bentuknya. Adapaun judul skripsi ini adalah (Tanggung jawab Guru Pendidikan Agama Kristen Dalam Meningkatkan Kualitas Afekytif Siswa Di Kelas IX SMP Negeri 1 Pematangbandar). Penulisan skripsi ini adalah persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas HKBP Nommensen Medan Program Studi Ilmu Pendidikan / Pendidikan Agama Kristen pada jenjang Starata Satu ( S1 ). Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan bukanlah mustahil didalamnya terdapat banyak kekurangan-kekurangan dan kelemahan, baik dari segi tekniknis maupun penyusunannya, terutama dari segi ilmiahnya. Tapi berkat bimbingannya dan arahan Bapak Dosen Pembimbing Utama dan Pembimbing Pembantu serta dorongan dari pihak-pihak lain, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih atas segala bantuan dan perhatian yang diberikan oleh berbagai pihak antara lain :
1.  Bapak Dr. Haposan Siallagan, SH.MH selaku Rektor Universitas HKBP Nommensen telah memberikan izin dan kemudahan selama penulis mengikuti perkulihan dalam program studi Ilmu Pendidikan/Pendidikan Agama Kristen. Bapak Dr. Hilman Pardede, selaku Dekan FKIP Universitas HKBP Nommensen Medan yang telah memberikan izin dan kemudahan selama penulis mengikuti perkulihan dalam program studi Ilmu Pendidikan/Pendidikan Agama Kristen
2.  Bapak Gr. Bangun Munthe, S.Pd,MM, selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan waktu dan kesempatan membimbing, mengoreksi, mengarahkan dan memberi perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan Ibu Pdt. Dr.Nurliani Siregar, M.Pd, selaku Pembimbing kedua yang selalu memberikan banyak perhatian, motivasi, pertunjuk-petunjuk, bimbingan dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.
3.  Seluruh Dosen Jurusan PAK antara lain : Ibu Dr. Nurliani Siregar, selaku ketua Jurusan PAK, Bapak Gr. Bangun Munte,S.Pd,MM, Bapak Pdt. Drs. Nelson Sihotang, M.Div, Bapak Pdt. Sunggul Pasaribu, S.Th,M.PAK, Bapak Pdt. Manuara Hutapea, S.Th, Bapak Pdt. Robert Silitonga,S.Pd,M.Th, Bapak Pdt. Darman Samosir, M.Th/Nurs, Bapak Pdt. Peniel Sirait, M.Psi/BM, Ibu Pdt.Jojor Silalahi,M.Th/Nurs, Ibu Pdt. Paulina Sirait, M.Si Teol/BM.
4.  Seluruh staf dan pegawai di FKIP Universitas HKBP Nommensen Medan.
5.  Pimpinan SMP Negeri 1 Pematangbandar dan guru PAK serta siswa/I yang telah membantu penulis dalam pengisian angket.
6.  Teristimewa kepada IBU tercinta R. Situngkir yang telah bersusah payah mengasuh, mendidik terutama memberikan dukungan moral maupun material yang tidak terhitung nilainya kepada penulis dalam mencapai gelar Sarjana, dan kepada Keluarga yang selalu memberi perhatian dan semangat kepada penulis selama mengikuti Pendidikan di FKIP Universitas HKBP Nommensen Medan.
7.   Kepada Sahabat-sahabat penulis Nurmian Pasaribu, Monika Lastria Siallagan, Ciska Marito Siburian, Fridayanti Panjaitan, Hotmauli Nababan, Debora Novri Samosir, Nova Yanti Sinaga, Desprianto Purba, Rodearni Purba, Nelly Harianja, yang telah memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman PPL di SMP Harapan Pematangsiantar, Nurdillah, Maya Suprizah, Riris Riyanti, Hiras Situmeang, Herlina Sianipar, Cristine Pardosi, yang telah memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada kakak stambuk Elsina Sinurat, S.Pd yang telah memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.   Kepada teman dekat saya Heri Putra Hutahaean, yang telah memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.  Kepada teman-teman Kost Rimba Raya 18 Nely Harianja, Gokma Purba, Santi Purba, Destarida Rumahorbo, Roslina Gultom, yang telah memberikan doa, semangat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.  Teman-teman seperjuangan saya Mahasiswa/I khususnya Jurusan PAK Stambuk 2015, yang selalu memberikan perhatian, semangat, dukungan, dan doa kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam kerelaan memberikan bantuan dan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.
Doa dan harapan penulis, semoga tulisan ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi peningkatan pendidikan umumnya, dan Pendidikan Agama Kristen secara khusus.



Medan,  September 2019
      Hormat saya
           

Novitasari Sidabutar
NPM : 15160051



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
            Secara umum pendidikan berarti suatu proses transformasi yang dilakukan seseorang atau  masyarakat kegenerasi berikutnya, serta dilaksanakan secara teratur, tersturktur dan dapat di ukur atau diketahui hasilnya. Generasi berikut mendapat pendidikan secara formal dan informal, sehingga mereka bertumbuh secara intelektual, pengalaman keagamaan, serta memiliki sikap hidup yang baik. Pendidikan merupakan usaha untuk memperlengkapi dan membimbing individu maupun kelompok, agar menjalankan tugas dan panggilan hidup secara efektif. Pendidikan bertugas membangun kualitas manusia seutuhnya, serta segi-segi kehidupan fisik, intelek, moral, spritual, dan sosio kultural dan kelompok.
            Dunia pendidikan sedang diguncangi oleh berbagai perubahan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta ditantang untuk dapat menjawab berbagai permasalahan lokal dan perubahan global yang begitu pesat. Perubahan dan permasalahan tersebut seperti pasar bebas, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi. Maka dengan perkembangan tersebut harus dibarengi dengan perkembangan didunia pendidikan mulai dari mutu pendidikan baik mutu guru, siswa, kurikulum dan sarana dan pra sarana yang berkualitas, sehingga akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pula. Pendidikan sangatlah penting dalam kehidupan manusia dan tidak terbatas pada umur. Suatu Negara yang mutu pendidikannya rendah akan mengakibatkan terhambatnya suatu kemajuan Negara. Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menguraikan: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.
            Fungsi dan tujuan pendidikan Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003 (Sisdiknas, Pasal 3 ) yang berbunyi, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk bangsa, bertujuan untuk perkembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis”.
            Menurut Sumadi Suryabrata (1984: 148) , tingkah laku afektif yaitu tingkah laku yang didasari oleh perasaan. Banyak orang yang tingkah lakunya tersebut didasari oleh bagaimana perasaannya.
            Menurut Djemari Mardapi (2004) ranah afektif menentukan keberhasilan seseorang. Orang tidak memiliki kemampuan afektif yang baik, sulit mencapai keberhasilan studi yang optimal. Hasil belajar kognitif dan psikomotorik akan optimal jika peserta didik mempunyai kemampuan afektif tinggi. Oleh karena itu pendidikan harus diselenggarakan dengan memberikan perhatian yang lebih menyangkut ranah afektif ini. Pencapain kemampuan kognitif dan psikomotirk dalam bidang pendidikan agama Kristen tidak akan memberi manfaat bagi masyarakat, apabila tidak diikuti dengan kemampuan afektif. Kemampuan lulusan suatu jenjang pendidikan bisa baik jika digunakan untuk membantu orang lain, namun bisa tidak baik bila kemampuan ini digunakan untuk membantu orang lain. Selain itu pengembangan afektif di sekolah akan membawa pengaruh yang sanagat baik positif dalam kehidupan siswa selanjutnya, baik di rumah maupun di lingkunga luar.
            Pada zaman modern seperti ini, masalah afektif merupakan masalah yang terjadi pada sebagian besar remaja di Indonesia. Masalah afektif sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Penyimpangan yang dilakukan remaja yang terjadi sekarang tidak hanya menjadi tanggung jawab guru pendidikan agama, tetapi juga merupakan tanggung jawab seluruh pengajar di sekolah. Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap seorang siswa antara lain dapat dari keluarga sendiri, lingkugan sekitarnya/ pergaulannya, media social (TV, handphone, majalah-majalah), dan melalui internet.
Pendidikan Agama Kristen adalah pendidikan yang memiliki karakter dan nilai-nilai kristiani. Pendidikan Agama Kristen menumbuhkan sikap dan perilaku manusia berdasarkan iman Kristen dalam kehidupan sehari-hari serta pengetahuan tentang pendidikan Kristen dengan tujuan untuk meningkatkan keyakinan pemahaman, penghayatan agar manusia dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik. Pendidikan agama Kristen adalah “pemupukan akal orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja, sehingga dalam diri mereka dihasilkan pertumbuhan rohani yang bersinambungan yang semakin dalam melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Tuhan Yesus Kristus berupa tindakan-tindakan kasih terhadap sesamanya”. Dalam ulangan 6:7 “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anak dan membicarakannya apabila engkau sedang duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun”. Tuhan Allah sendiri yang memberikan tugas untuk mendidik anak-anak kepada orang tua. Itulah sebabnya keluarga kristenlah yang memegang peranan yang terpenting dalam PAK. Sebagai guru PAK bertanggung jawab terhadap perkembangan nilai afektif  siswa, artinya guru PAK bertanggungjawab memberitakan firman Allah sebagai bantuan terhadap perkembangan nilai afektif siswa.
Dalam hal ini afektif adalah merupakan masalah yang penting pada saat sekarang ini mendidik afektif berarti mendidik seseorang untuk memperoleh atau mengangkat kepercayaan mereka dengan landasan yang logis dan tidak sekedar mengajar mereka untuk mengulangi kebenaran-kebenaran secara tepat. Dengan kata lain nilai afektif tidak terbatas dalam kawasan interpersonal dimana permasalahan sikap yang dianggap untuk pandangan Alkitab tentang moral yaitu dalam Amsal 11:30 ”hasil orang benar adalah pohon kehidupan dan siapa bijak mengambil hati orang. Setiap pekerjaan atau usaha selalu ada hasilnya”. Dalam Amsal bahwa hasil pekerjaan orang-orang yang benar adalah pohon kehidupan, pohon kehidupan tersebut merupakan prestasi bagi setiap orang yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan Firman Tuhan. Akan tetapi perhatian terhadap nilai afektif harus tercakup dalam semua pendidikan. Sementara pertumbuhan dan perkembangan dilihatnya sebagai terwujudnya kapasitas dalam diri seseorang untuk hidup berparsitipasi dalam kehidupan masyarakat secara demokrasi sehingga apa yang diterima seseorang harus seimbang dengan apa yang telah di korbankan perasaan afektif ini sangat mempengaruhi seseorang untuk mudah atau sulit bertindak baik atau jahat maka perlu mendapat perhatian  dan pendidikan nilai segi perasaan sikap, termasuk dalam tindakan minat adalah kompetensi (mempunyai kemampuan untuk mengaplikasikan keputusan dan perasaan ketindakan konkrit.
Dari pengamatan penulis di salah satu sekolah SMP di kota Pematangsiantar, terdapat beberapa siswa yang kurang memiliki sikap atau afektif yang baik. Peneliti melihat adanya sikap dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari kurang disiplin dalam mengikuti pembelajaran cara mereka dalam bergaul terhadap sesama dalam segi tutur kata dan tindakan. Selain itu, penyimpangan afektif yang terlihat juga terjadi kepada orang yang lebih tua. Sikap seperti itu bahkan terlihat biasa bagi mereka. Sikap  yang tidak baik itu juga dapat terlihat dari perkataan dan perbuatan siswa seperti mengucapkan kata-kata kotor kepada teman, melawan guru, tidak tahu berdoa, dan menyebut-nyebut nama orang tua temannya. Untuk itulah diperlukan adanya campur tangan dari seorang guru Pendidikan Agama Kristen untuk meningkatkan nilai afektif siswa siswa.
Berdasarkan uraian di atas, saya sebagai penulis sangat terdorong untuk membahas masalah Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Kristen dalam Meningkatkan Kualitas afektif Siswa di Kelas IX SMP Negeri 1 Pematang Bandar.
B.     Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup adalah luasnya subjek yang tercakup dalam penelitian ini, perlu diadakan ruang lingkup masalah yang akan dibahas agar tepat kearah penelitian. Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah masalah yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Artinya bersifat ilmiah, perlu diadakan ruang lingkup agar jangan terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap onjek yang diteliti.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang menjadi bahan tulisan dan titik tolak di dalam penelitian, yakni : “Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Kristen dalam meningkatkan kualitas afektif Siswa” (Studi Kasus: Kelas IX SMP Negeri 1 Pematang Bandar).
1.      Tanggung jawab Guru PAK (Variabel X)
Homrighausen dan Enklaar, (1993: 180 – 181) mengemukakan bahwa tugas guru dalam pendidikan agama sangat penting, dan tanggung jawabnya berat. Guru itu dipanggil untuk membagikan harta abadi. Dalam tangannya ia memegang kebenaran ilahi. Dan dalam pekerjaannya ia menghadapi jiwa manusia yang besar nilainya di hadapan Allah. Sehinggan jangan sekalipun kita menganggap pekerjaan guru agama itu rendah atau gampang; pada hakekatnya pekerjaan itu tak kurang pentingnya dari pada tugas pendeta. Berikut Tanggung jawab guru PAK menurut Homrighausen dan Enklaar,  (1993: 164 – 165)


a.      Menjadi seorang gembala bagi murid-muridnya
Gembala adalah ekspresi dari penjagaan atau pemeliharaan Allah yang penuh dengan kasih. Istilah gembala sendiri disematkan kepada mereka yang memegang jabatan penggembalaan di gereja tempat mereka bertugas memelihara kehidupan rohani dalam jemaat (Individu, keluarga, dan komunitas). Ia bertanggung jawab atas hidup rohani mereka; ia wajib membina dan memajukan hidup rohani itu. Tuhan Yesus sudah menyuruh dia: "Peliharakanlah segala anak dombaKu, gembalakanlah segala dombaKu!" Sebab itu seharusnyalah seorang guru mengenal tiap-tiap muridnya; bukan hanya namanya saja, melainkan latar belakangnya dan pribadinya juga. Ia harus mencintai mereka dan mendoakan mereka masing-masing di depan takhta Tuhan.
b.      Menjadi seorang pedoman dan Pemimpin
 Pemimpin adalah pembentukan awal sertapemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi. Ia tak boleh menuntun muridnya masuk ke dalam kepercayaan Kristen dengan paksaan, melainkan ia harus membimbing mereka dengan halus dan lemah lembut kepada Juruselamat dunia. Sebab itu ia hendaknya menjadi teladan yang menarik orang kepada Kristus; hendaknya ia mencerminkan Roh Kristus dalam seluruh pribadinya.
c.       Menjadi seorang penginjil
 Penginjil adalah memberitakan Injil yaitu kabar kesukaan. Dia yang bertanggung jawab atas penyerahan diri setiap orang pelajarnya kepada Yesus Kristus. Belum cukup jikalau ia menyampaikan kepada mereka segala pengetahuan tentang Kristus. Tujuan pengajaran itu ialah supaya mereka sungguh-sungguh menjadi murid-murid Tuhan Yesus, yang rajin dan setia. Guru tak boleh merasa puas sebelum anak didikannya menjadi orang Kristen yang sejati.
2.      Kualitas Afektif Siswa (Variabel Y )
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Berikut aspek-aspek afektif menurut Menurut Mardapi (2004) dalam buku Harun Rasyid (2007: 16):
1.      Minat
Minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intentitasnya. Secara umum minat termasuk kualitas afektif yang memiliki intentitas tinggi.
2.      Sikap
Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk memalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudia melalui penguatan serta menerima informasi verbal.
3.      Nilai
Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang diangap buruk.
C.    Rumusan Masalah
Masalah adalah ketika ada gap antara Das Sein dan Das Sollen. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan); soal; persoalan (KBBI Depertemen Pendidikan dan kebudayaan Balai Pustaka 1988 : 562). Setiap penelitian yang akan dilakukan harus selalu berangkat dari masalah, walaupun diakui bahwa memilih masalah penelitian sering merupakan hal yang paling sulit dalam proses penelitian (Tuckman, 198 dalam Sugiono 2009 : 52 ). Maka rumusan masalah adalah suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data.
Berdasarkan ruang lingkup masalah tersebut diatas, maka rumusan masalah adalah :
1. Masalah Umum
Sejauhmanakah Tanggung jawab guru Pendidikan Agama Kristen dalam meningkatkan kualitas afektif  siswa di Kelas IX SMP Negeri 1 Pematang Bandar?
2. Masalah Khusus
a)        Sejauhmana Tanggungjawab guru PAK menjadi seorang gembala dalam meningkatkan kualitas  afektif  siswa ?
b)        Sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang pedoman/pemimpin dalam meningkatkan kualitas afektif siswa ?
b.        Sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang penginjil dalam meningkatkan kualitas afektif  siswa ?


d.   Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, yang menjadi Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui Sejauhmana Tanggung jawab guru PAK dalam meningkatkan kualitas afektif siswa di Kelas IX SMP Negeri 1 Pematangbandar.
2. Tujuan khusus
a)    Untuk mengetahui sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang gembala meningkatkan kualitas afektif siswa.
b)   Untuk mengetahui sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang pedoman/ pemimpin meningkatkan kualitas afektif  siswa.
c)    Untuk mengetahui sejauhmana Tanggung jawab guru PAK menjadi seorang penginjil  meningkatkan kualitas afektif siswa.

E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka yang menjadi manfaat penelitiam ini adalah :
a)        Untuk menambah wawasan peneliti tentang tanggung jawab guru PAK  dalam meningkatkan kualitas afektif  siswa.
b)        Sebagai bahan masukan kepada guru PAK khususnya guru PAK di SMP NEGERI 1 Pematang Bandar tentang Tanggung jawab Guru PAK dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
c)        Sebagai bahan bacaan di Perpustakaan Universitas HKBP Nomensen Pematangsiantar

d)       Untuk memberi pengetahuan kepada pembaca tentang Tanggung jawab guru PAK  dalam meningkatkan kualitas afektif  siswa.


BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.    Kerangka Teoritis
Landasan teori berisi tentang uraian teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menganalisis data temuannya. Landasan teori ini menjadi penting untuk dirumuskan secara rinci dan spesifik. Disamping merumuskan landasan teori, penyusunan konsep yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian akan memberi pengertian bahwa apa yang diteliti menjadi jelas.
Dalam suatu penelitian kerangka teoritis sangatlah penting untuk diuraikan, karena dari kerangka teoritis ini akan diperoleh penjelasan-penjelasan dari beberapa teori yang dikemukakan dari beberapa tokoh sehubungan dengan masalah yang akan diteliti. Teori merupakan sistem gagasan dan abstraksi yang memadatkan dan mengorganisasikan berbagai pengetahuan manusia tentang apa sesungguhnya dunia social (Researchers use theory differently in various types of research, but some type of theory is present in most social research, Neuman, 2003 dalam Sugiono 2009 : 79). Teori  ini menyediakan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar yang dapat digunakan dan mengarahkan pertanyaan penelitian yang diajukan, serta membimbing kita memberikan mekna. Secara deduktif  (logika berfikir) peranan kerangka teori adalah sebagai dasar untuk mengajukan pertanyaan sementara (hipotesis) atau pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya. Landasan teori ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (Trial and Error). Dalam kerangka teoritis ini akan dibahas beberapa aspek yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Adanya landasan teoritis ini merupakan ciri bahwa penelitian itu merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data. Adapun aspek yang aan dibahas adalah :
1.    Defenisi Variabel X (Tanggung jawab Guru PAK)
a.    Defenisi Tanggung jawab
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:172), tanggung jawab adalah “keadaan wajib menanggung sesuatu yang apabila terjadi apa-apa boleh dituntut”. Sedangkan tanggung jawab menurut Sjarkawi (2006:72) yaitu sesuatu kesadaran manusia akan tingkah lakunya atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab adalah suatu kesadaran manusia akan sesuatu hal yang akan dilakukan akan suatu kewajiban.
b.  Defenisi Guru PAK
            Menurut Homrighausen, Enklaar (2012 :164) Guru Pendidikan Agama Kristen adalah seorang yang membantu peserta didik berkembang untuk memasuki persekutuan iman denganTuhan Yesus sehingga menjadi pribadi yang bertanggung jawab baik kepada Allah maupun kepada manusia.
Guru Pendidikan Agama Kristen mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk meningkatkan intelektual siswa-siswi, dan membekali pengetahuan tentang sikap yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman Kristen. Hal ini sejalan dengan pendapat Robert W. Pazmino (dalam Samuel Sijabat, 1999 : 28) yang mengatakan : Pendidikan Kristen adalah usaha bersengaja dan sistematis, ditopang oleh upaya rohani dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai-nilai, sikap, keterampilan, dan tingkah laku yang bersesuaian atau konsisten dengan Iman Kristen, dalam rangka mengupayakan perubahan, pembaharuan, dan reformasi pribadi-pribadi, kelompok bahkan struktur oleh kuasa Roh Kudus, sehingga siswa-siswi hidup sesuai dengan kehendak Allah sebagaimana dinyatakan oleh Allah, terutama dalam Yesus Kristus.
            Menurut Boehlke (2016:413) bahwa pendidikan agama Kristen (PAK) adalah pemupukan akan orang-orang percaya dan anak-anak mereka dengan firman Allah dibawah bimbingan Roh Kudus melalui sejumlah pengalaman belajar yang dilaksanakan gereja. Sehingga dalam diri mereka dapat menghasilkan pertumbuhan rohani yang berkesinambungan melalui pengabdian diri kepada Allah Bapa Yesus Kristus berupa tindakan kasih terhadap sesamanya.
            Dalam hal ini ditegaskan bahwa Guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) adalah seorang professional dalam bidang agama Kristen dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi untuk diajarkan kepada peserta didik dan sumber pengajarannya adalah Alkitab.


2.    Landasan Variabel X (Tanggung jawab Guru PAK)
Marthin Luther (dalam Robert. Boehlke, 2016:342-344) mengatakan bahwa pengajar pokok dalam pendidikan Agama Kristen adalah Allah sendiri bukan manusia. Baginya, gaya mengajar yang diprakarsai Allah merupakan contoh bagi semua perkara paedagogis insani. Luther pernah berkata, seorang ayahnyang baik mendidik anak-anaknya sebagaimana dia me;ihat Allah mendidik dirinya sendiri.
Harrison S. Elliot (dalam Robert R. Boehlke, 2015:658-659) mengatakan pendidikan Agama Kristen berfungsi untuk menolong anak-anak, kaum muda dan dewasa memikirkan masalah-masalah yang berkaitan dengan keadaan-keadaan yang mereka sedansg hadapi, agar menemukan tindakan atau jawaban kristiani yang cocok bagi pemecahan masalah tersebut dan merencanakan sarana yang dapat dipakai untuk melaksanakan keputusan yang baru diambil dalam kehidupan pribadi dan dalam kelompok. Di samping itu, tujuan pendidikan agama mencakup pengalaman memeriksa dan mempertimbangkan tindakan-tindakan yang sedang terjadi dari tolak ukur agama Kristen.
Sesuai dengan pernyataan di atas, sebagai pendidik ditengah-tengah lingkungan sekolah, E.G Homrighausen (2012:164) dalam bukunya:
1)      Menjadi seorang gembala bagi murid-murinya.
            Kata gembala di dalam bahasa Ibrani adalah “ro’eh” dan di dalam bahasa Yunani adalah “poimen”. Arti dari kata gembala adalah seseorang yang menjalankan otoritas untuk peduli (caring) kepada orang lain secara politikal dan spiritual. Di dalam Alkitab kita sering membaca tentang seorang gembala. Misalnya dalam 1Samuel 16 : 11, diceritakan bahwa Daud, sebelum menjadi raja, ia bekerja sebagai gembala. Dalam Mazmur 23 Allah disebut sebagai gembala yang memelihara domba-domba-Nya, sehingga mereka tidak kekurangan suatu apapun. Begitu juga Yesus menyamakan diri-Nya dengan seorang gembala yang baik dalam Yohanes 10 :11.
          Tugas utama seorang gembala adalah menjaga dan melindungi kawanan dombanya. Gembala pada hakekanya merujuk pada tugas seorang penjaga ternak. Menjadi seorang gembala di timur tengah bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Setiap hari dari pagi hingga malam gembala akan bersama-sama dengan kawanan dombanya untuk mencari air dan rumput yang hijau (hal ini mungkin tidak dirasakan oleh gembala yang ada di Indonesia mengingat air dan rumput hijau sangat mudah ditemui). Tidak hanya itu, 1 samuel 17:34-36 melukiskan bagaimana Daud berjuang untuk melawan singa atau beruang yang mau merampas dan membunuh domba-dombanya sampai selamat.
          Yesus juga menceritakan tentang suatu kemungkinan yang tidak jarang, bahwa seriga-serigala harus diusir (Yohanes 10:12,13). Seorang gembala ialah seorang yang bekerja sampai lelah, ia harus waspada dan berani, bahkan bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk dombanya (Yohanes 10:11)
Hal tersebutlah yang dianalogikan kedalam kehidupan manusia. Dimana manusia adalah kawanan domba yang tak mampu hidup tanpa seorang gembala.
M. Bons-Strom (2014: 23) menyatakan bahwa gembala yang sebenarnya ialah Yesus Kristus. Berulang-ulang Yesus mengatakan, umpamanya dalam Yohanes 10:1-21, bahwa “Dialah Gembala yang baik”. Yesus sudah meninggalkan dunia in, tetapi sebelum ia naik ke sorga, Ia mempercayakan pemeliharaan domba-domba-Nya kepada pengikut-pengikut-Nya (Yohanes 21:15-19).
Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa semua orang adalah gembala bagi saudaranya. Hal itu berarti, bahwa setiap orang yang menyatakan dirinya sebagai “pengikut Kristus”, dengan sendirinya ia telah menjadi seorang gembala.
Herfst (dalam M. Bons-Strom, 2014:1) mengatakan bahwa tugas penggembalaan itu ialah: “Menolong setiap orang untuk menyadari hunbungannya dengan Allah, dan mengajar orang untuk mengakui ketaatanya kepada Allah dan sesame-Nya, dalam situasinya sendiri.
Empat tujuan penggembalaan menurut William A.Clebsch dan Charles R. Jaekle (dalam Howard Clinebell,2006:53-54) dalam ringkasan sumber yang mereka buat dari sejarah gereja, yaitu:
1.      Menyembuhkan (Healing). Suatu fungsi pastoral yang terarah untuk mengatasi kerusakan yang dialami orang dengan memperbaiki orang menuju keutuhan dan membimbing nya kearah kemajuan di luar kondisinya terdahulu.
2.      Mendukung (Sustaining). Menolong orang yang sakit (terluka)agar dapat bertahan dan mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada waktu yang lampau, dimana perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya tidak mungkin lagi diusahakan atau kemungkinannya sangat tipis sehingga sangat tidak mungkin diharapkan.
3.      Membimbing (Guiding). Membantu orang yang berada di dalam kebingungan dalam mengambil pilihan yang pasti (meyakinkan diantara berbagai pikiran dan tindakana alternatif/pilihan), pilihan yang dipandang mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang dan pada waktu yang akan datang.
4.      Memulihkan (Reconcling). Usaha membangun hubungan-hubungan yang rusak kembali di antara manusia dan sesame manusia dan di antara manusia dengan Allah.

      Selanjutnya Howard Clinebell (2006:54) menambahkan fungsi penggembalaan itu dengan fungsi Memelihara dan Mengasuh (Nurturing). Tujuan dari pemeliharaan adalah memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan oleh Allah kepada mereka, disepanjang perjalanan hidup mereka dengan segala lembah-lembah, puncak-punjak, dan dataran-datarannya. Dalam istilah teologis tradisional, proses pertumbuhan ini disebut “pengudusan” (Sanctification). Walaupun memelihara adalah saling tumpang tindih dan jalin menjalin dengan keempat fungsi lain di atas, fungsi memelihara adalah fungsi yang khas dan amat penting. Memelihara dan membimbing adalah fungsi penggembalaan di mana pendidikan dan pelayanan konseling saling bertautan.
Di lingkungan sekolah kegiatan penggembalaan bisa dilakukan dalam segala kegiatan. Baik dalam kegiatan pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Dalam dunia pendidikan istilah penggembalaan sangat jarang dipakai. Istilah yang biasanya dipakai untuk mengatakan kegiatan tersebut ialah Bimbingan Konseling dan yang melakukan bimbingan tersebut disebut dengan konselor. Konselor pada umumnya memiliki latar belakang pendidikan sesuai denga tugasnya tersebut. Namun bukan berarti guru tidak bisa menjadi konselor di sekolah. Guru adalah pendidik, dan dalam proses pendidikan itulah guru sudah menunjukkan dirinya sebagai konselor yang membimbing siswa kearah yang lebih baik. Lagi pula, sama seperti yang telah diterangkan sebelumnya bahwa tugas membimbing adalah tugas semua orang.
Sebagai gembala (pembimbing) bagi murid-muridnya, guru agama dituntut untuk sensitif dalam mengobservasi anak didiknya. Guru memiliki tugas yang berat mengenai hal ini, yaitu bagaimana agar peserta diidk menjadi pribadi yang berkenan di hadapan Allah (Kis. 10:35). Membentuk pribadi siswa bukanlah hal yang mudah, tetapi ketika kita melakukannya terus menerus maka hal ini bukanlah menjadi hal yang mustahil.
Seorang gembala selalu menemani domba-dombanya kemanapun mereka pergi. Mata gembala akan tetap melihat sekeliling domba-dombanya untuk memastikan keselamatan dombanya sehingga terhindar dari serangan binatang buas. Mazmur 23:1-6 mengatakan bahwa seorang gembala akan membawa domba-dombanya ke air yang tenang dan membaringkan di padang rumput yang hijau. Air yang tennag dan rumput yang hijau tidaklah muda di temukan di daerah kering seperti di timur tengah. Tetapi karena gembala mengasihi domba-dombanya kesulitan itu tidaklah menjadi penghalang baginya untuk tetap memberikan yang terbaik bagi domba-dombanya.
Dalam dunia modern saat ini, peserta didik ibaratkan kawanan domba. Mereka bisa saja diserang oleh pengaruh negatif kemajuan teknologi sehingga mereka terjatuh. Oleh sebab itu, guru sebagai gembala haruslah tetap waspada dan memberikan bimbingan kepada anak didiknya. Tugas utama guru sebagai gembala bukanlah mengatasi masalah-masalah peserta didik tetapi mencegah timbulnya masalah pada peserta didik itu.
Seorang gembala dalam pengajarannya hendaknya harus benar-benar meniru teladan Yesus. Yesus adalah Gembala yang baik (Maz 23:1-6) Ia tidak pernah meninggalkan domba-domba-Nya. Ia senantiasa menuntun domba ke padang rumput yang hijau dan memberikan air yang jernih sebagai minuman domba-Nya. Untuk itu guru juga harus melakukan
Sebagai seorang gembala, guru juga harus tetap berguru kepada gembala Agung. Guru harus tetap menyerahkan dirinya sepenuhnyakepada Tuhandan meminta agar Tuhanlah yang bekerja di dalm kehidupannya.
2) Menjadi seorang  pedoman dan pemimpin.
            Dalam filosofi masyarakat jawa, guru merukan salah satu kata yang memiliki makna “digugu dan ditiru”. Digugu artinya segala ucapan seseorang itu dapat dipercaya, sedangkan ditiru artinya bahwa segala tingkah laku seorang guru adalah sebagai contoh/teladan bagi orang lain. Jadi seorang guru adalah seorang teladan yang dapat dipercayai baik bagi peserta didik, masyarakat maupun lingkungan sekitar.
Homrighausen (2012:164) mengatakan, seorang guru pedoman dan pemimpin hendaknya menjadi teladan yang menarik orang kepada Kristus, mencerminkan Kristus dalam sejarah pribadinya. Ia tidak boleh memaksa peserta didiknya untuk masuk kedalam kepercayaan Kristen, melainkan membimbing mereka dengan halus dan lemah lembut.
            Dalam dunia pendidikan, guru dituntut tidak hanya cakap dalam mengajar. Tetapi ia juga harus mampu menjadi pedoman atau model bagi peserta didik. Sebagi model ia akan dilihat dan dicontoh oleh segenap anak didik. Oleh sebab itu seorang guru harus membekali dirinya lebih dahulu sehungga ia mampu menjadi pedoman atau teladan bagi peseta didik (1 Timotius 4:12b). Ia juga harus mampu mencerminkan Kristus di dalam dirinya sehingga peserta didik akan tertarik untuk mengikut Kristus (Yohanes 13:15).
Menjadi seorang pedoman guru berperan dalam menginspirasi, mengajar, dan memberikan contoh yang baik.
Pemimpin pada dasarnya adalah orang yang melaksanan kepemimpinan. Namun demikian, ada perbedaan tegas antara kepemimpinan dengan pemimpin. Kalau kepemimpinan merujuk pada proses kegiatan, maka pemimpin merujuk pada pribadi seseorang. Menurut Kartini Kartono (1994:33) pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecapakan dan kelebihan di suatu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan ativitas tertentu demi pencapaian suatu tujuan atau beberapa tujuan.
Guru sebagai pemimpin hendaknya mampu menciptakan lingkungan belajar yang serasi, menyenangkan, dan merangsang para siswa untuk mengenal lebih jauh kasih Allah dalam kehidupannya masing-masing.
            Tanggung jawab guru PAK haruslah memberitakan tentang kebenaran. Kebenaran yang mewujudkan adalah satu-satunya kebenaran yang berpengaruh. Oleh karena itu, setiap guru hendaklah merasa bahwa dirinyalah pelajaran yang terbaik. Kehidupan seorang guru menjiwai pengajarannya. Sejarah mencatat bahwa guru-guru Kristen yang terkenal adalah orang-orang yang mempengaruhi murid-murid mereka karena kepribadian mereka sendiri yang baik.
            Guru PAK sebagai pendidik di sekolah berperan dalam mengajar firman Allah dan bertanggung jawab dihadapan Allah, sebab pekerjaan ini adalah mulia dihapan Allah. Pekerjaan menjadi guru PAK adalah tugas yang diberikan Allah sebagai karunia dari Allah untuk mengajar. Adapun maksud Allah memnerikan karunia mengajar bagi setiap orang menerimanya adalah untuk melaksanakan kehendak-Nya. Anak didik adalah domba-domba Allah yang memerlukan biimbingan dan motivasi dari guru. Karena itulah guru sebagai pendidik harus bertanggung jawab terhadap Tuhan untuk mengajar mereka dalam firman Tuhan serta membawa anak-anak itu mengenal Allah.     
            Komitmen yang benar dan motivasi yang kuat yang dibutuhkan agar panggilan sebagai guru PAK dapat dijalankan dengan baik. Dalam mengajar, seorang guru PAK menjadi mediator antara Allah dan peserta didik. Syarat yang terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya yang sifatnya suka memperhatikan anak didik dan hasrat menolong anak didik. Sehubunngan dengan ini Homrighousen dan Enklaar (2012:166)  menyebutkan bahwa syarat-syarat menjadi guru PAK yakni:
a)      Seorang guru harus mempunyai pengalaman rohani. Perlu sekali ia sendiri mengenal Tuhan Yesus. Bantinnya harus dijamah dan diterangi oleh Roh Kudus.
b)      Seorang guru harus mempunyai hasrat sejati untuk menyampaikan Injil kepada sesamanya manusia. Harus ada dorongan yang kuat untuk mengantar orang lain kepada Yesus Kristus.
c)      Seorang guru harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang isi iman Kristen. Ia harus mengenal Alkitab dengan baik. Untuk itu ia sendiri perlu dididik dan dilatih sebelum ia mengajar orang lain.
d)     Seorang guru perlu mnegetahui bagaimana iman bertumbuh dalam batin manusia dan bagaimana iman itu berkembang dalam seluruh hidup orang percaya itu.
e)      Seorang guru harus menunjukkan kesetiaan yang sungguh kepada gerejanya.

Ini berarti seorang guru PAK harus mempelajari ilmu jiwa yang berhubungan dengan soal-soal agama. Guru PAK juga berperan sebagai imam di dalam kelas yaitu memimpin kebaktian, memimpin doa diawali atau diakhiri pelajaran. Ia juga mengarahkan setiap anak didik untuk aktif ambil bagaian di dalam kebaktian. Guru PAK juga berperan sebagai nabi yang memberikan dan menyampaikan kebenaran Firman Tuhan, menegur sikap atau perilaku anak didik yang tidak berkenan dihadapan Tuhan. Pengajarannya tetap berpusat kepada Yesus Kristu. Guru PAK harus menunjukkan kesetiaanya  yang sungguh kepada gerejanya, ia sendiri harus rajin mengambil bagian dalam kebaktian dan kegiatan gereja. Dan jangan hanya menaruh minat, guru PAK harus mempunyai pribadi yang jujur dan pengabdian yang tinggi.
Menjadi pedoman berarti guru menjadi contoh, panutan, maupun teladan bagi peserta didiknya. Dan sebagai pemimpin guru berperan untuk membawa peserta didik untuk mnegenal Allah secara benar. Sebagai pedoman maupun pemimpin, seorang guru haruslah memusatkan kehidupan dan pengajaranya kepada Kristus.

3) Menjadi seorang penginjil
            Penginjil berarti orang atau oknum yang mengabarkan injil. Kata “injil” sendri berarti kabar baik. Yang diberitakan dalam Injil ialah Kristus telah mati bagi dosa-dosa kita dan bangkit kembali. Inilah berita yang harus disampaikan dan dijelaskan dalam penginjilan. Penginjilan harus dianggap sebagai suatu proses pendidikan di mana kejelasan merupakan hal yang penting dan dimana tidak ada tekanan psikologis yang diberikan.
Apakah yang sebenarnya dimaksudkan dengan istilah “Penginjil” dan “Penginjilan” itu ? Homringhausen dan Enklar (2012 : 177-182), ada pendeta dan anggota gereja yang agak was-was kalau mendengar kata penginjilan atau evangelisasi, karena sering istilah itu berbau bidat. Bukankah justru bidat-bidat itu yang kerap kali mengadakan aksi evangelisasi secara besar-besaran, disertai banyak propaganda dan metode yang kurang disetujui oleh pihak gereja? Penginjilan seperti itu sering terlanjur dalam cara-cara yang dipakainya. Semangatnya sudah tidak sehat lagi. Pertobatan banyak orang serentak, disebabkan paksaan rohani yang mengalahkan jiwa manusia dengan terlalu murah, tentu saja dicurigai oleh gereja.
Penginjilan itu tak lain hanyalah pemberitaan kabar kesukaan, yang memanggil manusia untuk mempercayai segala janji Allah dalam Yesus Kristus, sehingga manusia akan menyesalkan dosa-dosanya dan hidupnya yang buruk itu, lalu berserah kepada Tuhan Yesus Kristus selaku Penebus dan Raja, mencari persekutuan dengan Dia setiap hari, dan melayani Dia dalam segala lapangan hidupnya dengan patuh dan setia. Injil Yesus Kristus harus diberitakan sedemikian rupa sehingga memulihkan manusia. Injil itu hendak mentobatkan orang. Injil mengadili manusia dan menyelamatkannya. Luther pernah mengatakan : “ injil mematikan Adam lama, dan membangkitkan Adam baru”.
Penginjilan itu tidak lain daripada membawa Yesus Kristus kepada sesama kita, sehingga mereka dapat berjumpa muka dengan muka, dalam suatu pertemuan perseorangan yang mesra. Bukan kita yang sanggup membuat orang menjadi orang Kristen. Melainkan Kristus sendiri saya yang mengerjakan mejizat itu, dengan kuasa Roh Kudus yang ada pada-Nya. Ia sendiri mulai bercakap-cakap dengan manusia, dan Dialah yang meyakinkan mereka tentang kecelakaan mereka, dan melahirkan dalam batin mereka kerinduan yang hangat akan keselamatan yang ditawarkan-Nya itu.
Menurut D.T Niles (Homringhausen dan Enklar (2012 : 177-182), penginjilan itu seumpama menerangkan kepada orang yang hampir mati kelaparan dan dahaga, dimana ia dapat menemukan makanan dan minuman.
Guru sebagai penginjil bertanggung jawab atas penyerahan diri setiap peserta didiknya kepada Yesus. Artinya peserta didik menjadi murid Tuhan Yesus yang taat dan setia kepadaNya. Jabatan Penginjil adalah salah satu dari 5 jabatan yang terdapat di dalam Alkitab. Dikenal juga dengan Evangelist. Ada makna yang dalam untuk jabatan Penginjil ini.
a)      Evangelist/gospeler/revivalist : A preacher of the Christian gospel (Seorang pengkhotbah dari Injil Kristen)
b)      Preach : Speak, plead, or argue in favour of; Deliver a sermon (Beritakanlah: Bicaralah, memohon, atau berdebat mendukung; Memberikan khotbah)
       Ronald W. Leigh (2007:83), menngatakan bahwa penginjilan adalah tugas kita. Kita tidak boleh keliru bahwa tugas kita sebagi penginjil adalah untuk menghasilkan orang-orang yang bertobat. Karena menghasilkan orang-oarang bertobat adalah tugas Allah. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan seseorang. Paulus menegaskan hal ini ketika ia berkata, “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang member pertumbuhan. Karena itu yang peting bukanlah yang menaman atau yang menyiram, melainkan Allah yang member pertumbuhan”(1 korintus 3:6-7).
       Andar Ismail (2008:76-77) mengatakan bahwa penginjilan bisa terjadi melalui berbagai bentuk, misalnya nyanyian, lukisan, sandiwara, tarian, buku, perilaku, keteladanan, persahabatan, perbuatan baik, khotbah, cerita, dan sebagainya. Tampak di sini bahwa penginjilan tidak hanya bersifat verbal. Bahkan mungkin bentuk non verbal berkhasiat lebih ampuh. Misalanaya kejujuran seseorang ditengah lingkungan yang korup merupakan kesaksian yang ampuh ketimbang khotbah tentang kejujuran padahal khotbah itu sendiri tidak jujur. Demikian juga tampak di sini bahwa penginjil bukan hanya tugas pendeta namun terutama  harus tiap pengikut Kristus tanpa terkecuali. Seorang jompo yang buta huruf pun bisa menjadi penginjl melalui sikap dan gaya hidupnya.
       Penginjilan bukanlah masalah cerita-cerita yang mengharukan,taktik-taktik yang menakutkan, manipulasi ataupun bentuk-bentuk tekanan psikologis lainnya. Sebaliknya, penginjilan jelas-jelas terpusat pada intetek. Tugas ini mencakup penjelasan yang jernih mengenai berita Injil.
       Oleh sebab itu, penginjilan tidak patut mengandung unsur desakan apalagi paksaan dalam bentuk apapun itu. ini berarti penginjilan tidak boleh bersifat menipu. Injil yang disertai iming-iming.”kalau menerima Kristus, kita akan kaya raya , bebas dari derita dan berumur panjang” merupakan penipuan, karena Kristus sendiri hidup bersahaja, banyak menderita dan berumur pendek. Ini berarti juga penginjilan tidak patut bersifat menakut-nakuti, misalnya dengan ucapan, “Terimalah Kristus hari ini juga,siapa tau sebentar malam maut menjemput”.
       Berbicara tentang penginjilan di lingkungan pendidikan berarti mengabarkan kabar bail di lingkungan pendidikan tersebut. Penginjilan sejatinya bukanlah hanya untuk mereka yang belum mengenal Yesus(Non-Ktisten) tetapi juga kepada orang Kristen itu sendiri. Semua orang perlu diingatkan tentang kabar baik itu, untuk menyegarkan iman mereka kembali.
 Seperti yang telah dijelasakan di atas, penginjilan itu tidaklah hanya sebatas khotbah (verbal) tetapi penginjilan itu bisa dilakukan melalui perbuatan (Non-Verbal). Guru sebagai penginjil dilingkungan sekolah haruslah melakukan kedua hal ini. Pada saat pembelajaran ia melakukannya dengan Verbal, bersamaan dengan itu juga ia harus menunjukkan perilaku yang benar karena itu juga merupakan bagian dari penginjilan.
Homrighausen dan I.H Enklaar (2012:166) mengemukakan tujuan penginjilan itu yang dilakukan guru mepada siswa ialah supaya mereka sungguh-sungguh menjadi murid-murid Tuhan Yesus, yang rajin dan setia.
Sebagai penginjil beban dan permohonan doa kita haruslah sama seperti yang diucapkan Paulus, “Berdoa jugalah untuk kami, supaya Allah membuka pintu untuk pemberitaan kami, sehingga kamu dapat berbicara tentang rahasia Kristus. Dengan demikian aku akan menyatakannya,sebagai mana seharusnya” (kolose 4:3-4).
Untuk melengkapi tujuan pengajaran Agama Kristen dan Penginjilan di sekolah, yang merupakan usaha “pemuridan” dan sekaligus “penginjilan”, objek Pendidikan Agama Kristen di sekolah sebagaimana ditulis oleh Homringhausen dan Enklar (2012 : 48-49), di bawah ini akan menambah wacana dalam memahami tujuan Pengajaran Agama Kristen di sekolah :
1)      Pendidikan Agama Kristen menjadikan murid-murid menghargai dirinya sendiri.
2)      Pengajaran Agama Kristen membuat mereka menjadi warga negara yang bertanggungjawab.
3)      Melalui pengajaran Agama Kristen, diharapkan mereka dapat belajar menghargai dunia ini.
4)      Pengajaran Agama Kristen supaya mereka dapat membedakan nilai-nilai yang baik dan yang  jahat.
5)      Pengajaran Agama Kristen supaya mereka dapat menghubungkan pengalaman-pengalaman mereka sendiri dengan filsafat hidup Kristen.
6)      Supaya mereka menjadi orang yang dapat di percaya.
7)      Supaya mereka belajar bekerja sama dan tolong-menolong.
8)      Sepaya mereka selalu mengajar kebenaran.
9)      Supaya mereka bersikap positif terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, dan terhadap perkembangan-perkembangan sejarah umum.
10)   Dengan pengajaran Agama Kristen, supaya mereka suka turut merayakan hari-hari raya Kristen dalam persekutuan Kristen.

Menjadi seorang penginjil haruslah bangga dengan tugas mulia mempersiapkan kedatangan Yesus kedua kali (mempercepat ataupun memperlambat) dan yang pertama kali membentuk jemaat, adalah pioneer dalam pembentukan Tubuh Kristus. Dengan demikian, berikut persiapan yang harus dimiliki seorang penginjil :
                                                    a)    Penginjil harus tahu Firman Tuhan
                                                    b)    Penginjil harus peka terhadap Roh Kudus
                                                    c)    Penginjil haruslah mempunyai hati yang mengasihi seperti: “Luk 10:33, Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
Dengan demikian Robert Choun & Michael Lawson (1993 : 136-140), Menegaskan, peran guru sebagai penginjil hanyalah untuk menyampaikan kasih Allah kepada setiap anak sesuai dengan tingkat pemahaman mereka dan peka terhadap kesiapan anak untuk menghadapi kasih itu. Tugas mengarahkan hati anak kapada Tuhan bukanlah tugas guru melainkan tugas Roh Kudus. Tidak semua anak atau kaum muda yang datang ke gereja memiliki latar belakang atau pengetahuan yang sama tentang Tuhan. Pembentukan awal yang  harus di perhatikan, bahkan pada anak yang lebih besar adalah tentang kesadaran akan keberadaan Allah. Para guru harus menanyakan pertanyaan penting untuk memastikan apakah mereka sudah mengerti atau belum.
Menurut Robert, lima langkah berikut ini dapat di gunakan sebagai tuntunan umum bagi seorang guru untuk menyampaikan injil kepada anak didik:
a.    “Allah yang sama, yang berkuasa telah menciptakan bumi dan segala isinya, juga menciptakan kamu. Dia menciptakan kamu dengan sangat istimewa, dan dia juga sangat mengasihi mu. Dia ingin kamu juga mengasihi-Nya dan menjadi bagian dari keluarga-Nya.  (yakinkan siswa, bahwa hal ini, tidak berarti mereka harus meninggalkan keluarga mereka di bumi ini, namun bergabung dengan keluarga istimewa dengan saudara-saudara di seluruh bumi.)
b.    “Setiap kamu melakukan hal-hal yang tidak baik, atau bahkan berfikir untuk melakukannya, itu disebut ‘dosa’. Dosa ini menjauhkan kita dari keluarga Allah. (seorang anak harus dapat membuat daftar beberapa dosa yang bisa saja mereka lakukan dalam hidup mereka sehari-hari.)
c.    “Alkitab kita bercerita tentang orang pertama yang melakukan dosa. Mereka tidak melakukan apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Karena mereka berdosa, suatu hari mereka akan menjadi tua dan mati. (Namun, siswa mungkin perlu diberitahu bahwa kematian tidak akan terjadi secara cepat sebagai akibat dari perilaku yang tidak baik, tetapi kematian datang di saat yang tidak kita ketahui. Kematian adalah akibat alami dari dosa.)
d.   “kita tidak harus menunggu sampai kita mati dan kesurga untuk berteman dengan-Nya. Kita dapat menjadi bagian dari keluargaNya sekarang. Kita harus mengatakan kepada Allah kita tahu bahwa kita ini berdosa dan kita menyesal. Karena lewat apa yang telah dilakukan Yesus, Allah dapat memberi kita hadia pengampunan yang cuma-cuma.”
e.    “ketika kamu percaya Tuhan mengampuni dosamu, kamu menjadi anggota keluarga-Nya. Sebagai anakNya, kamu akan ingin mematuhi aturan-Nya. Orang-orang akan tahu bahwa kamu adalah anak Allah jika mereka melihatmu mematuhi orang tuamu, menolong sesama, dan menjadi anak yang baik hati. Kamu dapat menceritakan Yesus kepada teman-temanmu dan mungkin mereka pun ingin menjadi bagian dari keluarga-Nya juga. (1 Yoh 4: 8, Rom 3:23, Rom 6:23, 1 Kor 15 : 3, 1 Yoh 4 : 14, Yoh 1:12, Maz 119 :11)


3.    Defenisi Variabel  Y ( Meningkatkan Kualitas Afektif Siswa)
a.    Defenisi Meningkatkan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Meningkatkan berasal dari kata tingkat berarti menaikkan (derajat, taraf, dan sebagainya). Mempertinggi memperhebat (produksi dan sebagainya). Mereka akan mampu meningkatkan penghidupannya. Kata meningkatkan biasanya digunakan untuk arti yang positif. Contoh penggunaan katanya adalah peningkatan mutu pendidikan, meningkatkan kesehatan masyarakat, serta peningkatan keterampilan para penyandang cacat. Meningkatkan dalam arti di atas memiliki arti yaitu usaha untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Kata meningkatkan juga dapat menggambarkab perubahan dari keadaan atau sifat yang negatif berubah menjadi positif. Sedangkan hasil dari sebuah meningkatkan dapat berupa kualitas dan kuantitas. Hasil dari suatu peningkatan juga ditandai dengan tercapainya tujuan pada suatu titik tertentu. Dimana saat suatu usaha atau proses telah sampai pada titik tersebut maka akan timbul perasaan puas dan bangga atas pencapain yang telah diharapkan.
b. Defenisi Kualitas
            Menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kualitas adalah tingkat baik buruknya sesuatu, kadar,derajat atau taraf. Kualiatas didefinisikan sebagai karakteristik tertentu atau ciri khas dari seseorang atau sesuatu.
c. Defenisi Afektif
Menurut Nana Sudjana (1990: 29) ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli menngatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubanhannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif yang tinggi.
Menurut Martin dan Briggs dalam buku Ali Mudlofir dan Evi Fatimatur Rusydiyah (2016:97) menyimpulkan bahwa afektif adalah konsep diri, kesehatan mental, dinamika kelompok, pengembangan personal, moralitas, tingkah laku, nilai, pengembangan ego, perasaan, motivasi, dan lain-lain
d.  Defenisi Siswa
            Siswa adalah komponen masukan dalam sistem pendidikan yang selanjutnya diproses pendidikan,sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.Sebagai suatu komponen pendidikan,siswa dapat ditinjau dari berbagai pendekatan,anatara lain:pendekatan social,pendekatan psikologis dan pendekatan edukatif atau pedagogis.
            Menurut UU RI No. 20 tahun 2013 pasal 1 ayat 4 mengenai sistem pendidikan nasional,dimana peserta didik atau siswa adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri mereka melalui proses pada jalur dan jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Selain itu pengertian peserta didik atau siswa adalah orang yang belum mencapai dewasa,yang membutuhkan usaha,bantuan  bimbingan dari orang lain yang telah dewasa guna melaksanan tugas sebagai salah satu makhluk Tuhan, sebagai umat manusia,sebagai warga Negara yang baik,dan sebagai salah satu masyarakat serta sebagai suatu pribadi atau individu.
4.    Landasan Variabel Y ( Kualitas Afektif Siswa)
            Wina Sanjaya (2008:130) domain afektif berkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Domain ini merupakan bidang tujuan pendidikan kelanjutan dari domain kognitif. Artinya seseorang hanya akan memiliki sikap tertentu terhadap sesuatu objek manakala telah memiliki kemampuan kognitif tingkat tinggi. Berkenaan dengan ranah afektif, ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar. Kategorinya dimulai dari tingkat yang dasar atau sederhana sampai tingkat yang kompleks.
a.       Reciving/attendening, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulai) dari luar yang datang kepada siswa dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lain-lain. Dalam tipe ini termasuk kesadaran, keinginan untuk menerima stimulus, control, dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
b.      Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
c.       Valuing (penilaian) berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala atau stimulus tadi. Dalam evaluasi ini termasuk di dalamnya kesediaan menerima nilai, latar belakang, atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakatan terhadap nilai tersebut.
d.      Organisai, yakni pengembangan dari nilai ke dalam satu system organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan, dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Yang termasuk ke dalm organisasi ialah konsep tentang nilai, organisasi system nilai, dan lain-lain.
e.       Karakteristik nilai atau internaliasi nilai, yakni keterpaduan semua system nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Ke dalam termasuk keseluruhan nilai dan karakteristiknya
Pengalaman belajar yang relevan dengan berbagai jenis tingkatan afektif tersebut antara lain: Berlatih memberikan respon atau reaksi terhadap nilai-nilai yang dihadapkan kepadanya, berlatih menikmati atau menerima nilai, norma, serta objek yang mempunyai nilai etika dan estetika; berlatih menilai di tinjau dari segi baik buruknya, adil tidak adil, indah tidak indah terhadap objek studi; berlatih menerapkan/ mempraktekkan nilai, norma, etika dan estetika dalam perilaku kehidupan sehati-hari. Secara konkrit, pengalaman belajar yang perlu dilakukan agar siswa mencapai berbagai tingkatan kompetensi afektif tersebut antara lain denga mengamati dan menirukan contoh/model/panutan, mendatangi objek studi yang dapat memupuk pertumbuhahan nilai, berbuat atau berpartisipasi aktif sesuia dengan tuntutan nilai yang dipelajari dan sebagainya. Pendidikan afektif dapat diartikan pendidikan untuk pengembangan sosial-individu, perasaan, emosi dan moral-etika.
            Suharsimi Arikunto (2013: 193). Tujuan penilain afektif adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mendapatkan umpan balik (feedback), baik bagi guru maupun siswa sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan program perbaikan (remedia program) bagi anak didiknya.
b.      Untuk mengetahui tingkat perubahan tingkah laku anak didik yang dicapai, anata lain diperlukan sebagai bahan untuk perbaikan tingkah laku anak didik, pemberian laporan kepada orang tua, dan penentuan lulus tidaknya anak didik.
c.       Untuk menempatkan anak didik dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat pencapaian dan kemampuan serta karakteristik anak didik.
d.      Untuk mengenal latar belakang kegiatan belajar dan kelainan tingkah laku anak didik.

Alih Mudlofir dan Evi Fatimatur Rusydiyah (2016:98) pendidikan afektif penting dilakukan dalam masyarakat karena beberapa alasan sebagai berikut:
a.       Antara proses belajar, tingkah laku, pertumbuhan dan perkembangan manusia dan bagaimana pemikiran kita dan perasaan kita saling berhubungan dan sangat berpengaruh dalam menentukan keputusan.
b.      Penelitian Goleman menyatakan otak terbagi menjadi dua: emosional dan rasioal.
Sesuai dengan pernyataan di atas, karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya menurut Mardapi (2004) mengatakan dalam kaitan dengan afektif bahwa  kualitas afektif yang penting, yaitu sikap, minat, nilai.

a.      Minat
          Djamarah, (2008:166), menjelaskan bahwa minat adalah kecenderungan yang menetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa aktivitas atau suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal/aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Slameto (2013:180) menjelaskan bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak didik yang memiliki minat terhadap subjek tertentu maka ia cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap objek tersebut. Aktivitas siswa yang memiliki minat terhadap subjek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subjek tertentu.
          Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian Minat terhadap sesuatu dipelajari dan memengaruhi belajar selanjutnya serta memengaruhi penerimaan minat-minat baru. Jadi minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan menyokong belajar selanjutnya. Walaupun minat terhadap sesuatu hal tidak merupakan hal yang hakiki untuk dapat dipelajari hal tersebut, asumsi umum menyatakan bahwa minat akan membantu seseorang mempelajarinya.
          Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya adalah membantu siswa melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan untuk dipelajarinya dengan dirinya sendiri sebagai individu. Proses ini berarti menunjukan pada siswa bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu memengaruhi dirinya, melayani tujuan-tujuannya, memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Bila siswa menyadari bahwa belajar merupakan suatu alat untuk mencapai beberapa tujuan yang dianggapnya penting, dan bila siswa melihat bahwa hasil dari pengalaman belajarnya akan membawa kemajuan pada dirinya, kemungkian besar ia akan berminat ( dan bermotivasi) untuk mempelajarinya.
          Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dakam suatu
          Menurut Getzel (1966: 98), minat adalah suatu disposisi yang tergorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktvitas, pemahaman keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI :1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitanya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi (Sudrajat, 2008) Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a.       Mengetahui minat peserta didik sehingga mud ah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b.      Mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,
c.       Pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,
d.      Menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e.       Mengelompokkan pserta didik yang memiliki minat sama,
f.       Acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode yang tepat dalam penyampaian materi,
g.      Mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h.       Bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i.        Meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
     Minat yang besar terhadap suatu sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk mencapai tujuan yang diminati. Jadi minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi. Sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah. Harun Iskandar (2010: 47) menjelaskan bahwa minat adalah perasaan yang menyatakan bahwa suatu aktivitas, pekerjaan atau objek itu berharga atau berarti bagi individu.   Hilgard dalam ( Slameto, 2003: 57) mengemukakan memberi rumusan tentang minat adalah sebagai berikut: “interest is persisting tendency to pay attention to and enjoy some activity or content”.
     Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperlihatkan dan mengenang beberapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus-menerus yang disertai dengan rasa senang.
            Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan minat pada suatu subjek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat siswa yang telah ada. Misalnya siswa menaruh minat pada olahraga balap mobil. Sebelum mengajarkan percepatan gerak, pengajar dapat menarik perhatian siswa dengan menceritakan sedikit demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran sesungguhnya.
            Disamping memanfaatkan minat yang telah ada, Tanner & Tanner (1975) menyarankan agar para pengajar juga berusaha membentuk minat-minat baru pada diri siswa. Ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada siswa mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu, menguraikan kegunaannya bagi siswa di masa yang akan datang. Rooijakkers (1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dengan cara menghubungkan bahan pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan siswa. Siswa, misalnya, akan menaruh perhatian pada pelajaran gaya berat, bila hal itu dikaitkan dengan peristiwa mendaratnya manusia pertama di bulan.

            Bila usaha-usaha di atas tidak berhasil, pengajar dapat memakai insentif dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Insentif merupakan alat yang dipakai untuk membujuk seseorang agar melakukan sesuatu yang tidak mau melakukannya atau yang tidak dilakukannya dengan baik. Diharapkan pemberian insentif akan membangkitkan motivasi siswa, dan mungkin minat terhadap bahan yang diajarkan akan muncul.
            Studi-studi eksperimental menunjukan bahwa siswa-siswa yang secara teratur dan sistematis  diberi hadiah karena telah bekerja dengan baik atau karena perbaikan dalam kualitas pekerjaannya, cenderung bekerja lebih baik daripada siswa-siswa yang dimarahi atau dikritik karena pekerjaanya yang buruk atau karena tidak adanya kemajuan. Menghukum siswa karena hasil kerjanya  yang buruk tidak terbukti efektif, bahkan hukuman terlalu kuat dan sering lebih lambat menghambat belajar. Tetapi hukuman yang ringan masih lebih baik daripada tidak ada perhatian sama sekali. Hendaknya pengajar bertindak bijaksana dalam menggunakan insentif. Insentif apa pun yang dipakai perlu disesuaikan dengan diri siswa masing-masing.
b.      Sikap
            Menurut Slameto (2013: 183) sikap merupakan sesuatu yang dipelajari, dan sikap menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari individu dalam kehidupan.
Sikap merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
Menurut Wina Sanjaya (2006: 276-277) sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak objek berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu subjek, berdasarkan penilain terhadap objek itu sebgai hal yang berguna/berharga (sikap positif) dan tidak berharga/ berguna (sikap negatif) . Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang beperanan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif (Winkel, 2004)
     Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sementara itu, Chaplin (1981) dalam “Dictionary of Psychology” menyamakan sikap denag pendirian. Lebih lanjut dia mendefenisikan sikap sebagai predisposisi atau kecenderungan yang relative stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku  atau bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga, atau pesoalan tertentu. Dilihat dari sudut pandang yang agak berbeda, sikap merupakan kecenderungan untuk mereaksi terhadap orang, lembaga, atau peristiwa, baik secara positif maupun negatif.
 Sikap peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran misalnya Pendidikan Agama Kristen, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran Agama Kristen dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
            Pada umumnya rumusan-rumusan mengenai sikap mempunyai persamaan unsur, yaitu adanya kesediaan untuk berespon terhadap suatu situasi. Triandis (1971)  mendefinisikannya sebagai berikut:
            “An attitude is an idea charged with emotion which predisposes a class of actions to a particular class of social situations”.
Rumusan di atas menyatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen tingkah laku. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek, dan sikap terhadap objek ini disertai dengan perasaan senang positif atau negatif. Orang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek yang bernilai dalam pandangannya, dan ia akan bersikap negattif terhadap objek yang dianggapnya tidak bernilai dan atau juga merugikan. Sikap ini kemudian mendasari dan mendorong ke arah sejumlah perbuatan yang satu sama lainnya berhubungan. Hal yang menjadi objek sikap dapat bermacam-macam. Sekalipun demikian, orang hanya dapat mempunyai sikap terhadap hal-hal yang diketahuinya. Jadi harus ada sekedar informasi pada seseorang untuk dapat bersikap terhadap suatu objek. Informasi merupakan kondisi pertama untuk suatu sikap. Bila berdasarkan informasi itu timbul perasaan positif atau negatif terhadap objek dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu, terjadilah sikap.
Sikap terbentuk melalui bermacam-macam cara, anatara lain:
1.      Melalui  pengalaman yang berulang-ulang, atau dapat pula melalui suatu pengalaman yang disertai perasaan yang mendalam (pengalaman traumatik);
2.      Melalui imitasi,
Peniruan dapat terjadi tanpa sengaja, dapat pula dengan sengaja. Dalam hal terakhir individu harus mempunyai miinat dan rasa kagum terhadap mode. Di samping itu diperlukan pula pemahaman dan kemampuan untuk mengenal dan mengiingat model yang hendak ditiru; peniruan akan terjadi lebih lancar bila dilakukan secara kolektif daripada perorangan;
3.      Melalui sugesti,
Di sini seseorang membentuk suatu sikap terhadap objek tanpa suatu alasan dan pemikiran yang jelas, tetapi semata-mata karena pengaruh yang datang dari seseorang atau sesuatu yang mempunyai wibawa dalam pandangannya;
4.      Melalui identifitas
Di sini seorang meniru orang lain atau suatu organisasi/ badan tertentu didasari suatu keterikatan emosional sifatnya; meniru dalam hal ini lebih banyak dalam arti berusaha menyamai; identifikasi seperti ini sering terjadi antara anak dengan ayah, pengikut dengan pemimpin, siswa dengan guru, antara anggota suatu kelompok dengan anggota lainnya dalam kelompok tersebut yang dianggap paling mewakili kelompok yang bersangkutan.
     Dari uraian di atas,  jelaslah bahwa aspek afektif pada diri siswa besar peranannya dalam pendidikan, dan karenanya tidak dapat kita abaikan begitu saja. Pengukuran terhadap aspek ini amat berguna dan lebih dari itu kita harus memanfaatkan pengetahuan kita mengenai kualitas afektif siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
            Merangsang perubahan sikap pada diri seseorang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, karena ada kecenderungan sikap-sikap untuk bertahan. Ada banyak hal yang menyebabkan sulitnya mengubah sikap, antara lain;
1.         Adanya dukungan dari lingkungan terhadap sikap yang bersangkutan; manusia ingin selalu mendapatkan respond dan penerimaan dari lingkungan, dank arena itu ia akan berusaha menampilkan sikap-sikap yang dibenarkan oleh lingkungannya; keadaan semacam ini membuat orang tidak cepat mengubah sikapnya
2.         Adanya peranan tertentu dari suatu sikap dalam kepribadian seseorang (misalnya egodefensive’);
3.         Bekerjanya asas selektivitas;
       Seseorang cenderung untuk tidak mempersepsi data-data baru yang mengandung informasi yang bertentangan dengan pandangan-pandangan dan sikap-sikapnya yang telah ada; kalaupun sampai dipersepsi, biasanya tidak bertahan lama, yang bertahan lama adalah informasi yang sejalan dengan pandangan atau sikapnya yang sudah ada;
4.         Bekerja prinsip mempertahankan keseimbangan;
       Bila kepada seseorang disajikan informasi yang dapat membawa suatu perubahan dalam dunia psikologisnya, maka informasi itu akan dipersepsi sedemikian rupa, sehingga akan menyebabkan perubahan-perubahan yang seperlunya saja;
5.         Adanya kecenderungan seseorang untuk menghindari kontak dengan data yang bertentangan dengan sikap-sikapnya yang telah ada (misalnya tidak mau menghadiri ceramah mengenai hal yang tidak disetujuinya);
6.         Adanya sikap yang tidak kaku pada sementara orang untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya sendiri.
            Ada beberapa metode yang dipergunakan untuk mengubah sikap, antara lain:
a.         Dengan mengubah komponen kognitif dari sikap yang bersangkutan. Caranya dengan memberi informasi-informasi baru mengenai objek sikap, sehingga komponen kognitif menjadi luas. Hal ini akhirnya diharapkan akan merangsang komponen afektif dan komponen tingkah lakunya.
b.        Dengan cara mengadakan kontak langsung dengan objek sikap. Dalam cara ini komponen afektif turut pula dirangsang.  Cara ini paling sedikit ia akan merangsang orang-orang yang bersikap anti untuk berpikir lebih jauh tentang objek sikap yang tidak mereka senangi itu.
c.         Dengan memaksa orang menampilkan tingkah laku-tingkah laku baru yang tidak konsisten dengan sikap-sikap yang sudah ada. Kadang-kadang ini dapat dilakukan melalui kekuatan hokum. Dalam hal ini kita berusaha langsung mengubah komponen tingkah lakunya.
Meskipun terdapat banyak faktor yang menyebabkan sikap cenderung bertahan, namun dalam kenyataannya tetap terjadi perubahan-perubahan sikap sebagaimana yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan zaman akan membawa perubahan dalam hal yang dibutuhkan dan diinginkan oleh orang-orang pada saat tertentu, juga akan terjadi perubahan dalam sikap mereka terhadap berbagai objek. Ini menunjukkan bahwa usaha mengubah sikap perlu dikaitkan pula dengan kebutuhan dan keinginan dari orang-orang yang akan diusahakan perubahan sikapnya. Selain itu perlu pula ditelaah arah dari perubahan yang diinginkan. Biasanya perubahan yang konkuren ( misalnya suatu sikap positif ingin dibuat lebuh positif atau sikap negatif) lebih muda dicapai daripada perubahan yang inkonkuren (misalnya sikap yang negatif ingin diubah menjadi positif, atau sebaliknya).
Para ahli mengatakan bahwa untuk mengadakan perubahan sikap, pengajar perlu bertindak sebagai seorang diagnostikus dan terapis. Mula-mula harus ditetapkan makna fungsional dari sikap-sikap yang ada dan ingin diubah bagi siswa yang memiliki sifat tersebut. Kemudian diteliti kebutuhan-kebutuhan apa yang dipuaskan oleh sikap-sikap yang ingin diubah. Teliti pula perasaan-perasaan yang bagaimanakah yang menyertai sikap-sikap tersebut. Juga dukungan lingkungan terhadap sikap-sikap tersebut diketahui.
Bila diagnosis tidak tepat, maka perubahan yang diharapkan sulit untuk terjadi. Dalam hal ini tidak ada suatu pegangan yang pasti untuk menghindarkan kekeliruan dalam diagnosis. Saran yang dapat diberikan adalah mengumpulkan informasi selengkap mungkin mengenai sikap dan latar belakang sikap yang ingin diubah. Disamping itu kita perlu mempertimbangkan pengarahan masing-masing komponen sikap yang bersangkutan.


c.       Nilai
Nilai  menurut Rokeach (1968) merupakan subjek keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
Menurut Tyler (1973), nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu yang mengendalikan pendidikan dalam mengarahkan minat, sikap, kepuasan.
Menurut Wina Sanjaya (2006: 274) nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak, adil dan tidak adil, dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasrnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, dan sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a.         Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu (1) kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri; (3) kepatuhan pad ahasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b.        Integrakist. Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c.         Fenomenalist. Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi
d.        Hedonist. Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.

Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era globalisai dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat.
Nilai bagi seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya pada saat itu. oleh sebab itu, maka sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung pada nilai agama itu. dengan demikian sikap seseorang sangat tergantung pada system nilai yang dianggapnya paling benar, dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Komitmen seseorang terhadap  suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Misalkan, jika seseorang berhadapan dengan suatu objek, ia akan menunjukkan gejala senang-tidak senang, atau suka-tidak suka. Seseorang yang berhadapan dengan pendidikan sebagai suatu objek, maka manakala ia mendengarkan dialog itu sampai tuntas; dan sebaliknya seseorang yang menunjukkan gejala ketidaksenagannya terhadap isu pendidikan, ia akan tutup telinga atau memindahlan chanel televisinya. Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut:
1.        Nilai tidak bisa diajarakan tetapi diketahui dari penampilannya.
2.        Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
3.        Masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat berubah, berkembang, sehinggan bisa dibina.
4.        Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
          Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.






B.     Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah sebuah pernyataan teoritis yang menunjukkan tentang  ada tidaknya hubungan teoritis antara Tanggungjawab Guru PAK sebagai variabel X dengan Kualitas afektif  Siswa sebagai variabel Y.Sedangkan tujuan dari kerangka konseptual adalah kristalisasi dari teori-teori yang telah diuraikan terdahulu dalam kerangka teoritis. Hal ini dimaksudkan Untuk menguji dan membuktikan bagaimana “Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Kristen”.

1. Menjadi seorang gembala bagi murid-muridnya.
Seorang gembala sejatinya adalah seorang yang melindungi dan memenuhi kebutuhan kawanan dombanya kemanapun dan dimanapun domba-dombanya itu berada. Oleh sebab itu, guru sebagai seorang gembala bagi siswa-siswinya berperan untuk membimbing mereka kejalan yang benar dan memenuhi kebutuhan rohani mereka. Guru harus memberikan perhatiannya kepada siswa-siswinya itu. tidak hanya mengenal namanya saja, guru juga harus mengenal latar belakang dan kepribadiannya. Seorang guru juga harus mencintai mereka dan mendoakan mereka kepada Allah. Guru juga harus mengingat bahwa dalam bimbingan siswa-siswinya, ia juga harus meminta bimbingan dari Tuhan sang Gembala Agung. Dengan bimbingan yang benar, maka siswa juga terdorong untuk melakukan yang benar. Sehingga secara teoritis Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang gembala  bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.

2.Menjadi seorang Pedoman danPemimpin
            Pedoman berarti yang dipedomani, dicontoh, dijadkan model, dan dijadikan anutan yang tidak hanya sebatas fisik saja tetapi juga sikap spritual dan perbuatan. Pemimpin sendiri berarti seorang yang memiliki kecakapan dalam suatu bidang sehingga mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu hal. Menjadi pedoman dan pemimpin bukanlah suatu perkara yang mudah. Seorang gembala harus mampu mempersiapkan dirinya sebagai orang yang benar-benar layak untuk dipedomani dan siap untuk memimpin. Oleh sebab itu, hendaklah ia menjadi pedoman yang baik sehingga siswa-siswinya memiliki perilaku yang baik juga. Ketika siswa berperilaku baik maka guru telah memimpin mereka ke jalan yang benar. Oleh sebab itu, secara teoritis Guru Pendidikan Agama Kristen  menjadi seorang pedoman dan pemimpin bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
3. Menjadi seorang Penginjil
      Penginjilan dapat didefenisikan sebagai proses menjelaskan injil kepada orang berdosa dan mengundangnya untuk percaya kepada Kristus. Dengan penginjilan maka siswa akan menjadi murid-murid Tuhan Yesus yang rajin dan setia, dengan sungguh-sungguh. Dengan penginjilan mereka akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang kebenaran sejati dan apa yang diluar kebenaran itu. Sehingga secara teoritis Guru Pendidkan Agama Kristen menjadi seorang penginjil bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.


C.    Model Teoritis
Untuk mengetahui gambaran model teoritis secara sistematis dalam rangka analisis data mengenai “Tanggung jawab guru PAK dalam meningkatkan kualitas afektif siswa” dapat digambarkan sebagai berikut:


KUALITAS
AFEKTIF
1.      Minat
2.      Sikap
3.      Nilai

          Variabel Bebas (X)                                                  Variabel terikat (Y)

TANGGUNG JAWAB
GURU PAK

1.      Sebagai gembala
2.      Menjadi pedoman
3.      Seorang penginjil
 







D.    Rumusan Hipotesa
Hipotesa berasal dari dua kata yaitu hypo (belum tentu benar) dan tesis (kesimpulan). Menurut Sekaran (2005) yang dikutip oleh Juliansyah Noor mendefenisikan hipotesis sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variable yang diungkap dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hipotesis merupakan jawaban sementara atau hasil sementara terhadap suatu masalah yang diteliti dan dihadapi. Hipotesis ini perlu dilakukan pembuktian atau pengujian akan kebenarannya. Sugiyono (2009 :284) juga menambahkan hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan.
Berdasarkan kerangka Teoritis dan kerangka konseptual yang telah di uraikan, maka sebagai rumusan hipotesis dalam penelitian ini:


1.      Hipotesa Umum
Guru Pendidikan Agama Kristen bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas afektif siswa di kelas IX SMP Negeri 1 Pematang Bandar Tahun Ajaran 2019/2020.
2.       Hipotesa Khusus
1)             Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang gembala  Bertanggungjawab secara signifikan dalam meningkatkan kualitas afektif  siswa.
2)             Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang  pedoman dan pemimpin Bertanggungjawab secara signifikan dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.
3)             Guru Pendidikan Agama Kristen menjadi seorang penginjil Bertanggunjawab secara signifikan dalam meningkatkan kualitas afektif siswa.